Segala puji bagi Allah pemelihara seluruh alam, shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Nabi kita Muhammad,
keluarga, dan para sahabatnya. Wa ba’du.
Di antara nikmat Allah Ta’ala
yang diberikan atas hamba-hamba-Nya, adalah perguliran musim-musim
kebaikan yang datang silih berganti, mengikuti gerak perputaran hari dan
bulan. Supaya Allah Ta’ala mencukupkan ganjaran atas amal-amal mereka,
serta menambahkan limpahan karunia-Nya.
Dan tidaklah musim haji yang diberkahi itu berlalu, melainkan datang
sesudahnya bulan yang mulia, yaitu bulan muharam. Imam Muslim
meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu,
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله الذي تدعونه المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة قيام الليل . رواه مسلم في صحيحه
“Puasa yang paling utama setelah puasa bulan ramadhan adalah puasa
pada bulan Allah yang kalian sebut bulan muharam, dan sholat yang paling
utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.“
(HR.Muslim)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menamai bulan muharam dengan bulan
Allah, ini menunjukan akan kemuliaan dan keutamaannya. Sesungguhnya
Allah Ta’ala mengkhususkan sebagian makhluk-Nya terhadap sebagian yang
lainnya, serta mengutamakannya dari sebagian yang lainnya.
Hasan al-Bashri rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala membuka tahun dengan bulan haram dan mengakhirinya dengan bulan haram, dan tidak ada bulan dalam setahun yang lebih mulia disisi Allah melebihi bulan ramadhan, karena sangat haramnya bulan tersebut.“
Di bulan muharam ada satu hari yang pada hari itu terjadi peristiwa
besar serta kemenangan yang gemilang. Saat di mana kebenaran menang atas
kebatilan, yaitu ketika Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis
sholatu was salaam beserta kaumnya, dan menenggelamkan fir’aun beserta bala
tentaranya. Ia adalah hari yang memiliki keutamaan yang agung dan
kehormatan sejak dahulu. Ketahuilah, hari itu adalah hari yang kesepuluh
dari bulan muharam, yang biasa disebut hari ‘Asyura.
Sebentar lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram 1432 H. Seperti
kita ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari
hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram?
Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang
mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di
antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram
atau awal tahun.
Silakan simak pembahasan berikut.
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan
Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan
haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”
(QS. At Taubah: 36)
Imam Ath-Thabari berkata :
“Bulan itu ada dua belas, empat diantaranya merupakan bulan haram
(mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan
memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut.
Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh
ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya.
Bulan empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu
Dulqqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabat-khabar
yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو
الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan
langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada
empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang
terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”
[HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679]
Dan ini merupakan perkataan mayoritas ahli tafsir
{Jami’ul Bayan 10/124-125)
Ibnu Rajab mengatakan,
”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi,
penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah
pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan
bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan
juga rembulan.
Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai
dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan
perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”
[Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin
Muhammad As Sawas, Dar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H]
Imam Al-Qurthubi berkata :
“Pada ayat ini terdapat delapan permasalahan.
…Yang keempat : Bulan haram yang disebutkan dalam ayat adalah
Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab yang terletak antara Jumadal
Akhir dan Sya’ban. Dinamakan Rajab Mudhor, karena Robi’ah bin Nazar,
mereka mengharamkan bulan Rajab itu sendiri”.
….Kedelapan : “Allah menyebut secara khusus empat bulan ini dan
melarang perbuatan dzolim pada bulan-bulan tersebut sebagai pemuliaan,
walaupun perbuatan dzolim itu juga dilarang pada setiap waktu, seperti
firman Allah.
فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ
“Artinya : Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”
[Al-Baqarah : 197]
Ini menurut mayoriyas ahli tafsir Maksudnya janganlah kalian berbuat kezholiman pada empat bulan tersebut.
[Al-Jami Li Ahkamil Qur’an 4/85-87]
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata :
“Empat bulan tersebut adalah Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram.
Dinamakan haram karena kemuliaan yang lebih dan diharamkannya
peperangan pada bulan tersebut”
[Tatsiru Karimir Rohmah Fi Tafsiri Kalamil Mannan hal, 296]
Imam Bukhari ketika menafsirkan ayat di atas (At-Taubah : 36) membawakan suatu hadits.
“Artinya : Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda :
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah
menciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan diantaranya
terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal
(akhir) dan Sya’ban”
[Hadits Riwayat Bukhari : 4662]
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan :
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa empat bulan haram seperti
termaktub dalam hadits, tetapi mereka berselisih cara mengurutkannya.
Sekelompok penduduk Kufah dan Arab mengurutkan : Muharram, Rajab,
Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, agar empat bulan tersebut terkumpul dalam
satu tahun.
Ulama Madinah, Basrah dan mayoritas ulama mengurutkan, Dzulqo’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, tiga berurutan dan satu bulan tersendiri
(Rajab). Inilah pendapat yang benar sebagaimana tertera dalam
hadits-hadits yang shahih,diantaranya hadits yang sedang kita
perbincangkan.
Oleh karenanya hal ini lebih sesuai (memudahkan) manusia untuk melakkan thawaf pada semua buan haram tersebut. [10/319-320]
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram?
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan,
”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram
lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan
tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan
amalan ketaatan.”
[Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir]
Bulan-bulan haram, adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan
ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa
pada bulan haram.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan,
”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan,
”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram,
dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut
dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai
pahala yang lebih banyak.”
[Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali]
Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan :
“Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan haram dan menutupnya
juga dengan bulan yang haram. Tidak ada bulan yang paling mulya disisi
Allah setelah Ramadhan (selain bulan-bulan haram ini, -pen)”.
Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi
peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran
mengalahkan kebathilan, dimana Allah telah menyelamatkan Musa ‘Alaihis
sallam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut
mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia
adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura.
[Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10]
Imam Al-Baghawi berkata :
“Janganlah kalian berbuat dzalim pada semua bulan (dua belas bulan)
tersebut dengan melakukan kemaksiatan dan melalaikan kataatan”.
Ada yang berpendapat bahwa kalimat “fiihinna” maksudnya adalah empat bulan haram tersebut.
Qotadah berkata :
“Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan
dholim di dalamnya merupakan kedholiman yang besar pula dibanding pada
bulan selainnya, walaupun yang namanya kedholiman itu kapanpun merupakan
dosa yang besar”.
Ibnu Abbas berkata :
“Janganlah kalian berbuat dholim pada diri kalian, yang dimaksud
adalah menghalalkan sesuatu yang haram dan melakukan penyerangan”.
Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata :
“Janganlah kalian menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan
yang halal, seperti perbuatan orang-orang musyrik yaitu
mengundur-undurkan bulan haram (yaitu pada bulan Safar)’
[Ma’alimut Tanzil 4/44-45]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada
syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
[HR. Muslim no. 2812]
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu
bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena
disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang
menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.
[Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah]
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan,
”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan
pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan
tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau
’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy.
Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan
lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan
Muharram inilah yang menggunakan nama Islami.
Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih
menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama
islami dan disebut Muharram.
Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah
bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada
sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa
sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah.
Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki
keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam
setahun dan pembuka tahun.”
[Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53, Mawqi’ Ya’sub]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi,
”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah menjawab,
”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan.
Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini
disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah,
pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada
Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).”
[Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H]
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di
atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan
istimewa.
Menyambut Tahun Baru Hijriyah Dengan Cara Yang Benar
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian
kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut
begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak
menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan
atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan
diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan
amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah
seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama
Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) sudah mendahului kita dalam melakukannya.”
[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tafsir surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H]
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka
menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat
tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
[Idem]
Tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru
hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin
dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada
tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada
dalil, dalilnya pun lemah.
Amalan-amalan yang dianjurkan di bulan muharram
Memperbanyak puasa-puasa sunnah dibulan muharram
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di
bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah
shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“
[Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/341)].
Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan
Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan
lainnya, setelah bulan Ramadhan
[Dalam HSR al-Bukhari (no. 1900) dan Muslim (1130)]
Puasa-puasa sunnah yang dimaksudkan adalah Puasa Senin-Kamis, Puasa
Daud (sehari berpuasa-sehari berbuka), Puasa Pertengahan Bulan Hijriah.
Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa
‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para
sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya
[Dalam HSR al-Bukhari (no. 1900) dan Muslim (1130)]
Ibnu ‘Umar -sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhariy dan Muslim- berkata:
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa ‘asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Ketika puasa ramadhan
diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal tersebut- yakni berhenti
mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi mustahab (sunnah).”
Diriwayatkan pula dalam shahihain, dari Mu’awiyah radiyallahu ‘anhuma berkata,
“Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هذا يوم عاشوراء ولم يكتب الله عليكم صيامه وأنا صائم، فمن شاء فليصم ومن شاء فليفطر
Hari ini adalah hari ‘asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian
berpuasa padanya, tetapi Aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin
berpuasa, maka berpuasalah. Dan barang siapa yang ingin berbuka (tidak
berpuasa) maka berbukalah. “
(HR Bukhariy dan Muslim)
Keutamaan berpuasa tanggal 10 Muharram
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya; beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“
[HSR Muslim (no. 1162)]
Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan
puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi
dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang
diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
“Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).”
Ibnu Abas berkata:
“Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”
[HSR Muslim (no. 1134)]
Adapun hadits yang berbunyi
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً
“Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“
[Hadits ha'if / LEMAH. Diriwayatkan oleh Ahmad (1/241), al-Baihaqi
(no. 8189) dll, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia sangat buruk hafalannya (lihat
Taqriibut Tahdziib hal. 493). Oleh karena itu syaikh al-Albani
menyatakan hadits ini lemah dalam Dha’iful Jaami’ (no. 3506)]
Hadits ini DHAIF/LEMAH sanadnya, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram
[Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/385)].
- Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak
disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai
orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya
tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya
[Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam as-Syarhul Mumti’ (3/101-102)].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal
10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan
Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan
bala tentaranya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari
itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu
karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
“Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“
[Semua ini disebutkan dalam HSR al-Bukhari (3216) dan Muslim (1130)].
Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan
10 Muharram
[Lihat keterangan syaikh Muhammad al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/412)]
Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah
Do’a awal dan akhir tahun
Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali.
Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya.
Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad.
Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak
mengerti hadits.
Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya
tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits
tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.
Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan
Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan
puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ
مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ،
وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ
كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah
dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh
telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan
datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup
dosanya selama 50 tahun.”
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al
Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini
termasuk pemalsu hadits.
2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari
dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan
pemalsu hadits.
[Hasil penelusuran di http://dorar.net]
Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir
tahun adalah hadits yang LEMAH yang tidak bisa dijadikan dalil dalam
amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir
tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.
Merayakan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan
dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian
tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan
lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada
tuntunannya.
Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama
sesudahnya.
Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin
menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal
perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir).
Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”
[Hadits Shahiih, HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam
Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul
Gholil no. 1269]
Fatwa Ulama tentang hukum memperingati tahun baru islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai hari besar islam.
1. Hukum memperingati tahun baru islam
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1
Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan
dalam syari’at Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin
Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang
permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka
pada masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama
bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama
tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari
bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga
saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang.
Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa
masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan
manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka
bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia
sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah.
Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada
engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam
timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau
tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya
adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat.
Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang
datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari
besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya :
“Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami
biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah
menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu
‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat
kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian
penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan
ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun
(hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti
kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan
penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan
Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian,
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru
Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh,
karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at
Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul
Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan
orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru
Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan
memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum
muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun
mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru
Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran
sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun
Baru Islam.
Sumber : http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=281
2. Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
ditanya :Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru islam.Bagaimana
menjawab ucapan selamat tersebut.
Syaikh menjawab:
Jika seseorang mengucapkan selamat,maka jawablah, akan tetapi jangan
kita yang memulai. Inilah pandangan yang benar tentang hal ini.Jadi jika
seseorang berkata pada anda misalnya:
”Selamat tahun baru!”
anda bisa menjawab
“Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan ditahun ini kepada anda”
Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya riwayat
dari para shahabat yang saling mengucapkan selamat hari raya. Bahkan
para shahabat tidaklah menganggap 1 muharram sebagai awal tahun baru
sampai zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Memberikan kelonggaran nafkah pada hari asyura
Dengan berpedoman riwayat berikut:
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Siapa yang memberikan kelonggaran (nafkah) kepada orang yang menjadi
tanggungannya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelonggaran
kepadanya selama setahun penuh”.
Hadits dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Tamamul Minnah
oleh Syaikh Al-Albani hal. 412; sehingga tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah untuk mengamalkannya.
Bercelak dihari asyura dengan anggapan akan terbebas dari penyakit mata selamanya
Mereka berpedoman dengan dalil berikut:
مَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا
“Siapa yang bercelak dengan itsmid pada hari Asyura, dia tidak akan terkena penyakit mata selamanya”
Hadits ini maudhu (palsu) sebagaimana di dalam kiat Adh-Dhaifah no. 224
Memanggil bayi yang menyusui dan meludah dimulut mereka dan menyuruh ibu-ibu mereka agar tidak menyusuinya sampai malam
Dengan berpedoman riwayat berikut:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُعَظِّمُهُ
وَيَدْعُوْ بِرُضَعَائِهِ وَرُضَعَاءِ فَاطِمَةَ وَ يَتْفُلُ فِي
أَفْوَاهِهِمْ وَيَأْمُرُ أُمَّهَاتَهُمْ أَلاَّ يُرْضِعْنَ إِلىَ
اللَّيْلِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengagungkan hari itu
dan memanggil bayi-bayi yan menyusui milik beliau dan Fathimah,
kemudian beliau meludah di mulut mereka dan memerintahkan ibu mereka
agar tidak menyusuinya sampai malam”
Hadits ini dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah no. 2089
Penutup
Ketahuilah, menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan
memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah
dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya.
Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh
di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”
[Shahiih, HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi]
Hasan Al Bashri mengatakan,
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”
[Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi]
Maka, seiring datangnya Tahun Baru Hijriah, sudah sepantasnya bagi
seorang muslim untuk melakukan muhasabah dan introspeksi diri. Hal ini
merupakan jalan menuju petunjuk dan keselamatan. Orang cerdik itu,
adalah mereka yang selalu menimbang dirinya serta beramal untuk bekal
perjalanan setelah meninggal. Dan orang yang berakal, adalah mereka yang
membiasakan dirinya menapaki jalan kebaikan dan melazimkan dirinya
dengan syariat.
Manusia itu tidak terlepas dari dua keadaan, jika ia seorang yang
muhsin (yang banyak berbuat kebaikan), (dengan muhasabah) akan bertambah
kebaikannya, adapun jika ia seorang yang banyak lalai, maka ia akan
menyesal dan segera bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan setiap
diri memperkatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)…”
(QS. Al-Hasyr: 18).
Ibnu katsir berkata tentang tafsir ayat ini,
“Yaitu, hendaklah kalian menghitung-hitung (menghisba) diri kalian
sebelum kalian dihisab (pada hari kiamat), dan perhatikan apa yang telah
kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan
menghadap kepada Rabb kalian.”
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah telah menerangkan metode dan cara yang tepat untuk muhasabah. Beliau berkata:
“Semua itu dimulai dengan muhasabah diri terhadap amalan-amalannya
yang wajib, jika ia menemui kekurangan padanya, hendaklah berusaha
menggantinya, baik dengan cara mengqodho atau dengan memperbaikinya.
Selanjutnya muhasabah diri terhadap hal-hal yang dilarang, jika ia
mendapatkan dirinya pernah terjerumus di dalamnya, hendaklah
menyesalinya dengan bertaubat dan istigfar serta mengerjakan amal
kebaikan sebagai penghapus dosa-dosa tersebut.
Setelah itu muhasabah diri yang berkenaan dengan kelalaian yang
pernah dibuat, jika selama ini ia lalai akan maksud dan tujuan
penciptaannya, maka ia segera menutupinya dengan dzikir dan menghadapkan
diri seutuhnya kepada Allah Ta’ala. ”
Wahai saudaraku seiman seiring terbitnya fajar tahun baru ini,
segerakan taubat dan hadapkan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
Lembaran-lembaran yang ada dihadapanmu masih dalam keadaan putih bersih,
tanpa goresan sedikitpun. Maka berhati-hatilah jangan sampai kalian
nodai dengan maksiat dan dosa.
Segeralah melakukan introspeksi diri sebelum kalian dihisab,
perbanyak dzikir dan istigfar kepada Allah, dan pilihlah teman-teman
shaleh yang selalu menunjukanmu jalan kebaikan.
Semoga Allah menjadikan tahun ini sebagai tahun kebaikan bagi islam dan kaum muslimin.
Dan semoga pula Allah memanjangkan umur kita dalam ketaatan, kebaikan
dan jauh dari perbuatan maksiat, serta menjadikan kita sebagai pewaris
surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para shahabatnya.
Sumber
“Diantara Hukum Bulan Muharram” oleh Ummu Abdurrahman bintu Muhammad
Arfat hafizhahallah, disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun
V/1421H/2001M; dari almanhaj.or.id
“Kekeliruan dalam menyambut awal tahun baru hijriah“; oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST
“Hukum Merayakan Tahun Baru Islam & Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”, oleh: Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah.
“Puasa ‘Asyura, Tahun Baru Hijriah dan Muhasabah” Artikel www.muslim.or.id
“Keutamaan Puasa di Bulan Muharram” Oleh: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, M.A; artikel muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar