12
HAL LENGKAP SEBELUM MENIKAH
Pernikahan selalu menjadi tema yang mengasyikkan, khususnya bagi para
bujangan yang kesepian. Tema obrolan mereka tak akan lari jauh dari seputar
pernikahan. Ada yang menggebu-gebu menyebutkan niatan dan tekad yang menggugah,
ada juga yang masih malu-malu namun hati penuh angan-angan dan kenangan pada
sosok yang mengagumkan di hari-hari yang lalu. Fitrah sekaligus gejolak muda
tidak terhindarkan lagi, bahasan pra nikah memang selalu ditunggu-tunggu.
Pernikahan bukan ujung dari kegundahan para lajang, namun awal dari
pembuktian idealisme yang pernah tertancapkan, tentang keluarga dakwah,
keluarga romantis, keluarga ideal dan yang semacamnya. Karenanya persiapan
menuju pernikahan harus dipupuk sedemikian rupa, agar menghadirkan pemahaman
yang utuh tentang sebuah institusi pernikahan.
Berikut ini sekitar 12 materi dan postingan blog kami Indonesia Optimis,
yang telah kami tuliskan beberapa waktu yang lalu, untuk berbagi bekal kepada
mereka yang senantiasa merindukan pernikahan yang barokah, indah dan islami.
Semua diawali dari sini, yaitu berbekal mencari ilmu dan menempa diri.
Bersungguh-sungguhlah mencari bekal, maka pernikahan itu akan semakin dekat
insya Allah
KUMPULAN ARTIKEL PRA NIKAH :
1.Pertama :
Bersihkan
Diri dari Aktifitas Pacaran
Melangkah menuju pernikahan harus diawali dengan menutup semua aktifitas berbau
pacaran. Karena pacaran bukanlah persiapan pernikahan. Sudah banyak contoh
penyesalan saat pernikahan yang berawal dari pacaran. Untuk menghentikan
kebiasaaan dan budaya pacaran yang sudah menggurita, kita perlu pemahaman kuat
dan keyakinan akan bahaya sebuah aktifitas pacaran tersebut.
Ketika pacaran sudah menjadi budaya yang menggurita, maka mengatakan 'tidak'
untuk pacaran adalah perjuangan yang sungguh berat. Karenanya banyak yang
kemudian berpikir untuk 'menerima' pacaran, dengan logika dan dalil-dalil yang
bisa memuaskan sebagian orang. Tidak heran jika kemudian muncul 'pembolehan'
pacaran dengan atas nama 'psikologi', 'hak asasi', 'cinta adalah fitrah',
bahkan terkadang atas nama ' Islam' . Nah ! Khusus yang terakhir ini, yang
membawa-bawa nama Islam, kita perlu bahas lebih lanjut.
Islam membolehkan pacaran ? Akan sangat mudah bagi mereka yang mau dan tidak
malu. Tinggal pilih-pilih dalil yang melegakan tentang nilai-nilai cinta secara
universal, jadilah pacaran itu boleh. Saya pernah satu forum dengan 'ustadz'
-yang kebetulan memakai blangkon- , ketika ditanyakan padanya tentang hukum
pacaran. Maka segera saja meluncur dalil-dalil cinta universal dalam Islam,
yaitu ukhuwah islamiyah. Dengan bahasa arab yang fasih, mulailah beliau
menyitir dalil sabda Rasulullah SAW : Tidak beriman seorang dari kamu, hingga
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR Bukhori
& Muslim). Nah, jadilah cinta kepada saudara se-islam menjadi dalil
pendukung pacaran.
Bagitu pula saat mendengat ayat, Allah SWT berfirman : Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. (Al-Hujurot 13). Beberapa dengan percaya diri menyatakan bahwa
pacaran , tidak lain dan tidak bukan adalah upaya saling mengenal antara
laki-laki dan perempuan, sebagaimana disebutkan dengan jelas pada ayat di atas.
Maka jadilah mereka bersemangat dalam pacaran, sebagai sebuah usaha
mengimplementasikan ajaran Al-Quran untuk saling mengenal antara laki-laki dan
perempuan. Alaaah..alaah !
Sebenarnya banyak hadits lain tentang nilai cinta ukhuwah yang universal yang
sering disempitkan menjadi cinta antara dua sejoli. Bahkan lebih dikerucutkan
kepada aktifitas-aktifitas khusus pacaran. Misalnya saja, tentang 'menembak'
sang incaran dengan kata 'aku suka kamu' atau 'aku cinta kamu'. Aktifitas ini
kadang dihubung-hubungkan dengan sebuah hadits :
Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ada seorang bersama dengan Nabi SAW,
kemudian lewatlah seorang laki-laki lain. Laki-laki (yang bersama Nabi) itu
mengatakan : Ya Rasulullah, Sungguh aku mencintai laki-laki itu . Maka
Rasulullah SAW menjawab padanya : " Apakah engkau sudah beritahukan (rasa
cintamu) kepada dia ?. Dia menjawab : Belum. Lalu Rasulullah SAW mengatakan :
(jika begitu) Beritahukan pada dia. Maka kemudian ia menyusul laki-laki
tersebut dan mengatakan " Inni uhibbuka fillah" (aku mencintaimu
karena Allah), maka laki-laki tersebut menjawab : Semoga Allah yang engkau
mencintaiku karena-Nya, juga mencintaimu ! " (HR Abu Dawud dengan isnad
shahih)
Nah, berlandaskan hadits di atas, ada yang melegalkan aktifitas 'menembak'
lawan jenisnya untuk melamar jadi pacar dengan ungkapan : Aku cinta kamu,
sebagaimana di isyaratkan dalam hadits tersebut. Lagi-lagi kasusnya sama, makna
'cinta' yang begitu luas dalam ukhuwah Islam kembali disempitkan atas nama
cinta dua sejoli. Bahkan agar terkesan lebih islami dan menggetarkan, ada juga
yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan : " Aku mencintaimu karena Allah
! ". Tidak lupa dihiasi dengan tatapan mata yang sayu penuh harap. Itu
sebuah statemen yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Bagaimana mungkin
mencintai seseorang karena Allah, tapi pada saat yang sama melecehkan
aturan-aturan Islam dalam masalah pergaulan lawan jenis. Astaghfirullah.
Misal yang lain, ada yang membolehkan 'aktifitas pacaran' berupa apel malam
minggu, jalan-jalan dan makan-makan, asal ada yang nemeni. Ada satpam atau
pihak ketiga yang bertugas melakukan pengawasan. Bisa jadi sang adik, kakak,
tetangga, atau bahkan ortu sendiri yang ikut nemeni sang gadis saat si doi apel
ke rumahnya. Dengan kata lain, selama aktifitas tidak berduaan maka pacaran
menjadi sah dalam pandangan mereka. Hadits yang dipaksa untuk digunakan dalam
hal ini :
Dari Jabir bin Abdullah ra, Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyendiri ( berduaan) bersama
seorang wanita tanpa ditemani mahromnya, karena yang ketiganya adalah
setan" (HR Ahmad)
Dari hadits di atas, diambillah sebuah kesimpulan yang sederhana : boleh
pacaran asal ditemeni. Jadi jika sang pacar datang ke rumah, para orang tua
ikut menemani ngobrol. Atau bisa juga mengawasi dari jarak jauh, jika sang
pacar mulai senyum-senyum merapat, akan ada suara batuk-batuk dari kejauhan.
Wah ..wah..
Lebih parah lagi kalau ada yang menyatakan ; yang penting orang tua setuju dan
ridho anaknya pacaran ? Bukankah dalam hadits disebutkan : Dari Ibnu Umar,
Rasulullah SAW bersabda : keridhoan Rabb (Allah) ada dalam keridhoan kedua
orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orangtua (HR Thobroni,
Baihaqi dalam Sya'bul Iman, Albani menshahihkannya) Nah, jika para orang tua
saja sudah rela anaknya di pacari, bahkan banyak juga yang bangga jika anaknya
sudah ada yang ngapeli, lalu apa urusannya melarang-larang orang pacaran ? .
Hari ini banyak kita lihat, betapa banyak orang tua yang khawatir saat anak
gadisnya tak kunjung punya pacar. Lalu mereka menggunakan beragam cara agar
tampilan si gadis lebih cantik dan menarik. Jika si gadis kebetulan berjilbab,
maka terkadang di paksa untuk melepas jilbabnya. Naudzubillah.
Ada juga yang diminta berhias dengan sungguh-sungguh, agar jika keluar rumah
bisa terlihat menyala-nyala. Bak model iklan, di jalan nanti akan banyak yang
melirik dan terpana, siapa tahu salah seorang akan meminang anak gadisnya jadi
sang pacar. Maka jika di lain hari, sang cowok itu benar-benar datang menyapa
anak gadis dan berkunjung ke rumahnya, sang ortu -khususnya ibu- ini
benar-benar terlihat lega dan bahagia. Akan ada suguhan spesial bagi sang
cowok, sapaan hangat dan apa saja yang membuat sang cowok itu betah
berlama-lama memacari anak gadisnya. Duuh..
Itu baru yang rela atau ridho anaknya pacaran. Banyak juga yang lainnya bukan
sekedar ridho, tapi justru malah menyuruh anaknya pacaran ! Apapun, entah orang
tua 'sekedar' ridho atau justru memerintahkan pacaran, sesungguhnya yang
namanya maksiat itu tetap bernilai maksiat, meskipun ditutup-tutupi dengan
kerihoan orang tua, perintah orang tua, panggilan cinta yang fitrah, nilai kemanusiaan
dan lain sebagainya. Meninggalkan masksiat adalah perintah dari Allah SWT, yang
tidak bisa dikalahkan dengan perintah-perintah makhluk di bawahnya. Karenanya
sungguh bijak ketika Rasulullah SAW sejak awal sudah mengantisipasi hal ini.
Dalam haditsnya beliau bersabda : Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada
Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada perbuatan yang baik (HR Bukhori
dan Muslim dari Ali bin Abi Tholib ra)
Hakikat dalam aktifitas pacaran adalah kemaksiatan , bukan sekedar satu dua
maksiat tapi bisa jadi menjadi siklus kemaksiatan yang berputar dan terus
berputar. Karenanya, pembolehan pacaran dengan dalil dan logika manapun, hanya
akan berkisar seputar usaha menutup-nutupi pacaran sebagai sebuah kemaksiatan.
Banyak yang mengeskplorasi begitu jauh tentang manfaat-manfaat pacaran agar
terlihat nilai positif pacaran. Dari mulai tambahan motivasi belajar, keluwesan
dalam bergaul, pendidikan seks hingga alasan klasik ; 'penjajagan' pra nikah !.
Itu semua menjadi impian semu yang selalu gagal untuk dicapai. Bukannya
termotivasi belajar, tapi nilai ujian justru turun drastis sepanjang sejarah
perkuliahan atau sekolahnya. Bukannya pendidikan seks yang dicapai, tapi justru
langsung praktik seksual yang didapat dengan mudah dan murah tanpa ikatan yang
halal sedikitpun. Bukannya penjajagan pra nikah, tetapi benar-benar penjajagan
bagaimana nanti kalau sudah nikah ! Makanya banyak yang sudah berhubungan
suami-istri dengan pacarnya hanya karena 'janji untuk menikah'.
Akhirnya, saya mengajak pada mereka yang 'sempat' membolehkan pacaran. Baik
dari kalangan sosiolog, pendidik, maupun para orangtua. Agar berpikir lebih
jernih sebelum membuka kran kebebasan untuk pacaran. Sedikit saja ada celah
untuk membolehkan berpacaran, maka berikutnya yang ada adalah 'siklus
kemaksiatan' yang terus berputar. Ibaratnya dalam masalah kecanduan narkoba,
yang menjadi pemicu awal biasanya adalah 'kebolehan' untuk merokok. Dari rokok
remaja kita belajar banyak tentang obat-obatan, dari yang sederhana hingga
jenis yang paling membahayakan.
Karenanya, jika hari ini kita mengatakan 'silahkan berpacaran' pada anak-anak
gadis dan remaja kita. Itu bagaikan mendekatkan tabung gas dengan sumber api
yang menyala. Tidak ada yang menjamin bahwa tidak akan terjadi ledakan, letupan
, atau mungkin hanya sekedar asap panas yang membumbung tinggi. Demikian pula
remaja kita, saat mendapat ijin untuk berpacaran, maka tidak ada yang menjamin
bahwa tidak akan terjadi hubungan badan, ciuman, belaian atau mungkin 'sekedar'
sentuhan dan remasan jari. Semua itu adalah kemaksiatan. Bahkan bukan cuma satu
dua kemaksiatan, tapi (sekali lagi) siklus kemaksiatan yang berputar dan terus
berputar. Efek domino pacaran, begitu kami menyebutnya.
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
2.Kedua :
Mewacanakan
Nikah pada Orang Tua
Pekerjaan rumah besar sebelum melangkah menuju pernikahan adalah
mengkomunikasikan kepada orang tua. Banyak yang gagal mengkomunikasikan soal
ini dan berujung pada persengketaan saat memutuskan pernikahan. Baik soal waktu
yang tepat, prioritas bahkan juga soal pemilihan jodoh. Pernikahan adalah
pertemuan dua keluarga besar. Bukan dua orang semata.
Assalamu’alaikum wr wb …
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menyatukan hati-hati kita. Semoga
forum ahad pagi ini bisa lebih mengikat ukhuwah diantara kita. Sebagaimana
sering dalam membuka sebuah majelis, saya menyampaikan beberapa harapan :
Di awal majelis ini mari kita berniat Agar iman kita meningkat Ilmu
yang berguna di dapat Ukhuwah kita semakin erat Serta amal
semakin semangat
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi kita Muhammad SAW,
keluarga dan sahabat, serta seluruh kaum muslimin yang istiqomah menjalankan
risalah islam hingga hari akhir nanti.
Kajian ahad ini (31 Desember 2009) di grup facebook
(KAJIAN PRA NIKAH) kita
akan sedikit membahas tentang : Rencana Pernikahan dan Orang Tua. Banyak
keluhan, curhat atau pertanyaan yang masuk pada saya seputar hal tersebut. Dari
mulai pihak orangtua yang ‘shock’ dengan teror dari anaknya yang meminta
menikah dengan bertubi-tubi, hingga larangan para ortu pada anaknya untuk
menikah karena masalah ekonomi dan yang semacamnya.
Sepertinya banyak alasan para orangtua belum mengijinkan anaknya untuk menikah,
bahkan sampai pada tahapan ada yang ‘sakit’ jika anaknya kembali membicarakan
tentang pernikahan. Namun diantara sekian alasan itu, barangkali ada beberapa
hal yang sering muncul di benak para orang tua tentang pernikahan
putra-putrinya.
1. Merasa Pernikahan itu tidak perlu cepat-cepat, bisa nanti-nanti saja,
apalagi bagi yang anaknya laki-laki.
2. Merasa sang anak belum mampu dan mandiri secara ekonomi.
3. Merasa khawatir dengan pasangan anaknya nanti, apakah sholeh atau tidak ,
dan sebagainya. Bahkan mungkin sebagian sudah ada yang menyiapkan jodoh bagi
anaknya.
Nah, ada beberapa hal yang perlu dijalankan seorang akh/ukhti sebelum berproses
menuju pernikahan. Semuanya dijalankan dengan penuh kesungguhan dan
lemah-lembut. Jangan memaksakan ‘niat mulia’ ini dengan cara yang tidak mulia.
Beberapa hal tersebut antara lain :
Pertama : Menunjukkan Prestasi dan Kemampuan Diri
Hendaknya para akhi/ukhti bisa menunjukkan pada kedua orangtuanya bahwa mereka
ini telah ‘layak’ menikah. Bukan lagi anak kecil yang ingin dimanja, bukan lagi
‘sekedar’ mahasiswa biasa yang menanti-nanti gelar sarjana. Yakinkan orangtua
dengan parade prestasi, maka insya Allah akan membukakan hati para orang tua
untuk menyatakan : oo.. ternyata anak saya mampu.
Karenanya, berprestasilah terlebih dahulu dan tunjukkan pada orang tua agar
mereka bisa tenang saat merestui anaknya berproses menuju pernikahan.
Ingat ungkapan salah satu putri Syuaib yang diabadikan dalam Al-Quran :
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:
"Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat
dipercaya". (Qoshos 26)
Nah, ketika para orangtua sudah cukup merasa tenang bahwa anaknya punya
karakter “ Kuat dan Terpercaya” atau mempunya Performance dan Kredibilitas yang
baik, maka insya Allah mereka akan menyetujui setiap usulan dari anaknya,
termasuk usulan nikah. Jadi, buktikan dulu pada para orangtua bahwa Anda telah
banyak mengukir berprestasi .
Kedua : Memberikan Penjelasan tentang Anjuran Menyegerakan Pernikahan
Terkadang orang-orang tua merasa tenang-tenang saja dengan isu pernikahan.
Mereka belum sadar bahwa usia semakin menua dan saatnya untuk menimang cucu
telah tiba. Karenanya berikan pemahaman bahwa urusan nikah adalah ibadah mulia
yang juga mengikuti kaidah : “ Lebih Cepat Lebih Baik “, hal ini tentu senada
dengan isyarat dalam sebuah hadits :
روى أحمد والترمذي عن علي رضي الله عنه: أن النبي
قال له، " يا علي: ثلاث لا تؤخرها الصلاة: إذا أتت، والجنازة إذا حضرت،
والايم إذا وجدت كفئا ".
Dari Ali ra, Rasulullah SAW bersabda : “
Wahai Ali, tiga hal yang jangan
engkau tunda-tunda (yaitu) : Sholat ketika telah datang waktunya, jenazah yang
sudah siap (dimakamkan), dan bujangan yang sudah menemukan pasangannya (yg
sekufu) “ (HR Tirmidzi dan Ahmad)
Ketiga : Curhat pada Orangtua tentang Kegelisahan Hati dan banyaknya Godaan
di luar sana
Barangkali para orangtua belum sadar sepenuhnya bagaimana kondisi dunia luar
yang bisa mengotori hati putra-putrinya. Di sana ada pemandangan syahwati yang
bertaburan di jalanan dan sekolahan. Di sana ada satu dua pandangan dan sapaan
yang melenakan. Di sana ada ucapan-ucapan indah yang mengotori niat dan hati.
Belum lagi dengan iringan lagu-lagu romantis yang senantiasa memprovokasi.
Seorang akhi/ukhti hendaklah dengan jujur menyampaikan kegelisahan ini. Dan
dari sanalah kemudian muncul keinginan untuk segera membentengi diri.
Mengakhiri segala bentuk romantisme semua yang tiada henti. Sampaikan pada
orangtua bahwa anaknya ini ingin menikah untuk menjaga diri dan juga kehormatan
keluarga.
Barangkali hadits di bahwa ini bisa jadi bekal untuk berdiskusi :
وفي حديث الترمذي عن أبي هريرة أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: (ثلاثة حق على الله عونهم، المجاهد في سبيل الله، والمكاتب
الذي يريد الاداء، والناكح الذي يريد العفاف).
Dari Abu Hurairah ra , Rasulullah SAW bersabda : “ Ada tiga orang yang wajib
bagi Allah menolongnya : orang yang berjihad di jalan Allah, budak ‘Mukatib’
yang ingin membayar pembebasannya, dan seorang yang ingin menikah untuk menjaga
dirinya “ (HR Tirmidzi)
Keempat : Meyakinkan tentang rizki dan tekad kuat untuk mandiri
Sungguh kurang layak mengajukan pernikah pada orangtua jika kantong ini belum
terisi dari keringat kita sendiri. Memang ada satu dua kasus dimana orangtua
‘sholih’ sangat inisiatif dalam membantu pernikahan anaknya secara finansial.
Barangkali ia terinspirasi dengan Nabi Syu’aib yang begitu kooperatif membantu
pernikahan putrinya dengan nabi Musa as. Tapi saya yakin tidak banyak orang tua
yang semacam itu.
Nah, jadilah kita harus ‘berjanji-janji’ bak politisi untuk mewujudkan
kemandirian ekonomi. Sampaikan langkah-langkah Anda ke depan dalam memenuhi
kebutuhan dasar sebuah pernikahan. Jika ada satu dua keluarga yang tulus
membantu, terima dengan tangan terbuka tapi tidak dalam arti melenakan kita
untuk mencari dengan keringat kita sendiri.
Jangan lupa mengingatkan konsep ekonomi ‘Ketuhanan’ yaitu pernikahan adalah
salah satu pintu-pintu rizki di muka bumi ini. Betapa banyak yang menjadi kaya
dan bersemangat dalam berusaha saat di rumah telah ada bidadari yang
memotivasi. Yakinkan para orang tua dengan ayat monumental tentang pernikahan
dan rizki
:وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (النور32)
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS
An-Nuur 32)
Kelima : Menyampaikan bahwa Akhlak dan Agama adalah Prioritas Utama dalam
mencari pasangan nantinya
Terakhir, meyakinkan bahwa ‘calon mantu’ nanti adalah sosok yang terpilih
karena keshalihan dan agamanya. Bukan sekedar tampan dan cantik karena ini
bukan audisi model dan artis, bukan pula sekedar kaya raya karena ini bukanlah
membuat perusahaan komersial. Tapi yang dicari adalah dua kriteria utama :
Akhlak dan Agamanya.
Perlu juga diingatkan pada para orangtua ini dua karakter ini sejak awal,
jangan sampai mereka mengharapkan kriteria bermacam-macam yang barangkali
justru tidak islami dan mempersulit anaknya dalam menemukan jodohnya. Cukuplah
bagi para orangtua peringatan Rasulullah SAW dalam haditsnya :
وروى الترمذي بإسناد حسن عن أبي حاتم المزني، أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه،
إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير،
Dari Abu Hatim ra, Rasulullah SAW bersabda : “ Jika telah datang (melamar)
padamu seorang yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dg
anakmu), jika engkau tidak melakukannya maka akan muncul fitnah di muka bumi
ini dan kerusakan yang besar “ ( HR Tirmidzi dengan sanad yang baik)
Akhirnya, masih banyak tahapan yang harus akhi/ukhti jalankan sebelum memasuki
sebuah proses pernikahan. Akan ada hambatan, bahkan mungkin tangisan, tapi
yakinlah itu semua akan semakin mendewasakan dan mengokohkan hati untuk
menghadapi lebih banyak lagi tantangan usai pernikahan.
Wallahu a’lam bisshowab. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan untuk
memahami apa yang kita kaji pagi ini, menjalankannya dengan sepenuh hati.
Serta, -tentu saja- mendakwahkannya pada yang lain.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
3.Ketiga :
Ragam
Macam Hukum Pernikahan
Mengetahui lebih detil tentang hukum pernikahan, karena kondisi setiap orang
bisa jadi berbeda. Jangan terlalu dipaksakan sementara kemampuan belum
seberapa, jangan pula ditangguhkan dan ditunda-tunda padahal kebutuhan dan
kondisi sudah sedemikian menggelora.
Alhamdulillah, tanpa terasa sepekan begitu cepat berlalu. Pagi ini saatnya
kembali mengkaji ‘secuil’ ilmu tentang pernikahan. Begitu banyak usulan untuk
tema-tema kajian pernikahan, sangat beragam, dan menantang untuk segera
dituliskan. Memang pernikahan adalah dunia yang dipenuhi dengan tema-tema
pendahulan. Baik secara ilmu dasar filosofisnya, hingga masalah teknis-teknis
yang diperlukan menjelang pernikahan, semuanya begitu banyak dan beragam.
Karenanya mohon maaf jika usulan-usulan yang masuk belum segera direalisasikan.
Insya Allah jika grup kita ini istiqomah, usulan-usulan tersebut dapat juga
diwujudkan. Amin.
Untuk pekan ini, kita akan membahas ragam macam hukum pernikahan. Agar lebih
jelas bagi kita –khususnya ikhwan dan akhwat bujangan – apakah saat ini sudah
tepat saatnya untuk menikah, ataukah barangkali masih sekedar
keinginan-keinginan sesaat disaat hati merasa sepi. Agar kita bisa lebih arif
bahwasanya tidak setiap keinginan itu harus dipaksakan, tidak setiap hasrat
harus segera dipenuhi. Semua ada aturannya. Semua ada batasan-batasannya.
Pertama : Hukum Menikah menjadi wajib,
Menikah bagi sebagian besar ulama menjadi wajib hukumnya, ketika seorang itu :
Telah mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah finansial pada keluarganya
Berada dalam lingkungan yang memungkinkan terjerumus dalam kezinaan
Latar belakang keimanan dan keshalihannya belum memadai
Puasa sudah tidak mampu lagi menahan gejolak dan kegelisahannya
Hal ini bersandarkan bahwa : menahan dan menjauhi dari kekejian adalah suatu hal
yang wajib, dan jika yang wajib itu tidak terpenuhi selain dengan menikah, maka
dengan sendirinya menikah itu menjadi ikut wajib hakimnya. Kaidah ini dikenal
dengan nama : “ maa lam yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib “.
Kedua : Hukum Menikah menjadi Haram
Seseorang diharamkan baginya menikah, ketika bisa dipastikan (berdasarkan
pengalaman dan dhahirnya) bahwa dalam pernikahan itu ia akan menzalimi
istrinya. Salah satu contohnya yaitu :
jelas-jelas tidak mampu memberikan nafkah finansial pada istrinya.
Atau dalam kondisi tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada suami/istrinya
nanti, semisal : tidak punya kemampuan dalam hubungan suami istri.
Hukum haram ini bisa menjadi berubah saat dipastikan ternyata kondisi-kondisi
tersebut telah diperbaiki. Lalu pertanyaan yang menarik selanjutnya adalah :
Bagaimana jika seseorang berada pada kondisi yang berbahaya mengarah pada zina,
dan pada saat yang sama dia belum mempunyai kemampuan finansial yang cukup ? .
Maka solusi ‘sementara’ untuk hal ini adalah menjaga diri dengan berpuasa.
Karena jika bertemunya wajib dengan haram, maka yang haramlah yang harus
dijauhi terlebih dahulu.
Allah SWT berfirman “ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. “ (QS
An- Nuur ayat 33)
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : Wahai segenap pemuda, barang siapa
diantara kamu telah mempunyai kemampuan (jimak) maka hendaklah segera menikah,
karena itu lebih menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang
belum mampu (memberi nafkah) maka hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi
perisai baginya “ (HR Jamaah)
Ketiga : Hukum Menikah menjadi Makruh
Yaitu ketika seseorang berada dalam kondisi yang dikhawatirkan (bukan
dipastikan) akan menimbulkan bahaya dan kerugian jika menikah nantinya,
misalnya karena beberapa faktor sebagai berikut :
karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya, atau
mempunyai penghasilan tetapi sangat belum layak.
Atau bisa juga karena track record kejiwaannya yang belum stabil, seperti
emosional dan ringan tangan
Atau ada kecenderungan tidak mempunyai keinginan terhadap istrinya, sehingga
dikhawatirkan nanti akan menyia-nyiakan istrinya
Keempat : Hukum Pernikahan menjadi Sunnah
Terakhir, jika seseorang berada dalam kondisi ‘pertengahan’ maka hukum menikah
kembali kepada asalnya yaitu sunnah mustahabbah atau dianjurkan. Yaitu jika
seseorang dalam kondisi :
Mempunyai daya dukung finansial yang mencukupi secara standar
Tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan karena lingkungan yang baik
serta kualitas keshalihan yang terjaga.
Dalil yang menunjukkan hukum asal sunnah sebuah pernikahan, diantaranya adalah
yang diriwayakan anas bin malik ra. Yaitu ketika datang tiga sahabat menanyakan
pada istri-istri nabi tentang ibadah beliau SAW, kemudian mereka bersemangat
ingin menirunya hingga masing-masing mendeklarasikan program ibadah andalannya
:
Ada yang mengatakan akan shalat malam terus menerus
Ada yang mengatakan akan puasa terus menerus
Ada yang mengatakan tidak akan menikah selamanya
Dan puncaknya, ketika Rasulullah SAW mendengar hal ini, beliau segera bereaksi
keras dan memberikan statemen yang cukup jelas tentang hal tersebut. Beliau
bersabda : Demi Allah .. sungguh aku ini yang paling takut kepada Allah di
antara kamu sekalian, aku juga yang paling bertakwa pada-Nya, tetapi aku shalat
malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi
wahita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukanlah bagian
dariku “ (HR Bukhori)
Nah, jika urusannya adalah sunnah, maka insya Allah lebih baik untuk
disegerakan. Saya ingat sebuah kisah nyata yang dulu sering saya sampaikan pada
ibu saya jauh-jauh hari sebelum akhirnya menikah. Kisahnya seorang pemuda mesir
yang belajar di Amerika. Pada tahun pertama, ia minta ijin pada ibunya untuk
menikah, tapi oleh ibunya dilarang. Begitu pula tahun kedua, dan ketiga ia
mengulangi lagi permintaan untuk menikah, dan senantiasa juga ditolak. Hingga
akhirnya di tahun keempat dan kelulusannya, ibunya datang dan mengatakan
sekaranglah saatnya menikah. Maka sang anak menjawab dengan enteng : ibu,
sekarang saya tidak memerlukan pernikahan, di Amerika ini saya bisa memenuhi
kebutuhan biologis saya tanpa harus menikah. Bukankah dulu ibu melarang saya
menikah, ketika saya benar-benar membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan
biologis saya ?Wal iyyadz billah.
Ikhwan dan akhwat sekalian, marilah mengkaji ulang status dan kondisi kita hari
ini. Apakah telah sampai pada kita kewajiban menikah ? sunnah, atau barangkali
justru masih dalam status makruh ? Anda lebih tahu jawabannya. wallahu a’lam
bisshowab.
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
4.Keempat :
Memilih
Kriteria Pasangan (Bagian Pertama)
Semua mendampakan kriteria yang ideal dan nyaris sempurna. Tanpa pemahaman yang
baik maka benak kita hanya akan dipenuhi dongeng-dongeng belaka tentang sosok
putri atau pangeran idaman. Ini pernikahan dunia nyata yang dipenuhi oleh
keterbatasan dan kekurangan setiap individu. Lebih baik serahkan tuntutan agama
kita seputar kriteria idaman.
Assalamu'alaikum wr wb.
Alhamdulillah, ahad ini adalah kajian yang ke-empat dalam grup FB ini. Sampai
sejauh ini, begitu banyak member yang terdaftar. Insya Allah itu menunjukkan
semangat yang kuat dalam mencari ilmu menuju gerbang pernikahan. Semoga
semangat itu diikuti dengan keseriusan demi keseriusan, yang akhirnya
benar-benar mengantarkan pada pernikahan. Grup ini sebenarnya unik, karena
bukan saja mengharapkan 'penambahan' jumlah anggota, tapi barangkali juga
sekaligus berharap 'penurunan' jumlah Anggota. Tentu saja pengurangan yang
dimaksud adalah ketika anggota KAJIAN PRA NIKAH ini telah sukses menikah sesuai
harapan.
Untuk pekan ini, kita akan selangkah lebih mendekat ke pintu pernikahan.
Setelah kita berhasil meluruskan motivasi kita dalam menikah, kemudian berhasil
mewacanakan pernikahan pada orang tua kita, kemudian kita juga memahami hukum
pernikahan yang update bagi diri kita, maka kini saatnya memahami tentang
kriteria pasangan ideal dalam Islam.
Ada beberapa kriteria yang ditekankan oleh ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, yang
mungkin secara khusus berlaku untuk wanita (calon istri) tetapi secara umum,
bisa kita ambil filosofisnya atau tema besarnya juga berlaku untuk kriteria
laki-laki.
Pertama : Mempunyai pemahaman dan pengamalan agama yang baik
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita dinikahi karena
empat hal : hartanya, nasab keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Maka
pilihlah yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung" (HR Bukhori
dan Muslim)
Ada sebuah anekdot yang unik dalam masalah ini, yaitu dalam pandangan ikhwan ,
semua akhwat yang komitmen dengan hijab dan aktif dalam dakwah berarti telah
terwakili dari sisi agamanya. Maka kemudian mereka berpikir, " sekarang
tinggal mencari sisi kecantikannya …". Ya, barangkali itulah sisi
kecerdasan tersembunyi seorang ikhwan dalam berapologi tentang kecenderungan
fisik.
By the way, tentu saja yang dimaksud kriteria 'agama' disini adalah mencakup
hal-hal mendasar dalam pemahaman dan pengamalan keagamaan, plus akhlak dan
kepribadiannya. Contoh sederhananya bisa dilihat dengan indikasi sebagai
berikut :
1. Pemahaman : berhubungan dengan akidah tauhid (rukun iman yang enam) dan juga
keyakinan tentang kewajiban agama secara umum (rukun islam). Menjauhi segala
keyakinan dan amalan yang mendekat pada syirik dan bid'ah.
2. Pengamalan : untuk wanita memang bisa diidentikkan dengan komitmen dalam
berhijab (jilbab). Secara umum tentu berkaitan dengan ibadah harian, seperti :
sholat berjamaah dan tepat waktu, tilawah al-quran yang memadai, serta
menghidupkan amalan sunnah lainnya.
3. Kepribadian : indikatornya bisa dilihat cari dia berinteraksi dengan lawan
jenis, bagaimana cara seseorang dalam berdakwah dan berkomunikasi. Bagaimana
kesabaran, optimisme, dan kesungguhan dalam menjalani aktifitasnya. Banyak hal
yang bisa menjadi indikator di wilayah ini, meskipun -tentu saja- tidak
semuanya harus menjadi ideal.
Secara khusus bagi pihak perempuan, syarat ketakwaan seorang laki-laki juga
haruslah menjadi pertimbangan utama sebelum menerima atau menolak seseorang
yang datang melamar.
Dari Abu Hatim ra, Rasulullah SAW bersabda : " Jika datang kepadamu
seorang yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia, jika
engkau tidak melakukannya maka niscaya akan muncul fitnah di muka bumi ini dan
kerusakan yang amat nyata "(HR Tirmidzi , ia berkata : hadits hasan
gharib. Albani mengatakan : Hasan lighairihi)
Begitu pula disebutkan dalam riwayat, saat seseorang datang kepada Hasan bin
Ali ra -cucu Rasulullah SAW- dan berkata : " Aku mempunyai seorang putri,
menurutmu dengan siapa sebaiknya aku nikahkan dia ? ". Maka Hasan ra
berkata : " Nikahkanlah putrimu dengan laki-laki yang bertakwa (takut
kepada Allah), jika ia mencintai (putrimu) maka ia akan memuliakannya, dan jika
sekalipun ia membenci (tidak suka) putrimu, ia tidak akan menyakitinya."
Kedua : Subur dan tidak Mandul ( Mempunyai kemampuan seksual dan reproduksi
)
Diriwayatkan oleh Ma'qal bin yasar ra : Seseorang datang kepada Nabi SAW : Aku
suka dengan seorang perempuan yang cantik dan dari keturunan terhormat, tetapi
dia tidak subur (mandul), apakah aku boleh menikahinya ? ". Rasulullah SAW
menjawab : "Tidak ". Kemudian orang tadi mendatangi beliau sekali
lagi,dan Rasulullah SAW pun kembali melarangnya. Demikian berturut-turut hingga
yang ketiga Rasulullah SAW mengatakan : " Nikahilah (wanita) yang romantis
dan subur, karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat ini (di hari
kiamat) " (HR Abu Daud, Hakim, An-Nasa'i. Albani mengatakan : Hasan
Shohih)
Kriteria ini jarang sekali diperhatikan oleh mereka yang hendak menikah, bahkan
nyaris meremehkan karena menganggap tidak terlalu urgen untuk jadi bahan
pertimbangan. Memang sebelum menikah, dan di tahun-tahun awal pernikahan
masalah 'kesuburan' tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga.
Namun yang terjadi selanjutnya, ketika beberapa tahun tak kunjung datang
tanda-tanda buah hati menyapa, maka mulailah jarak dan retak itu muncul.
Penyikapan yang bijak dan elegan tentu diharapkan agar rumah tangga tidak
tercerai berai karena alasan di atas.
Berbeda antara bahasan solusi dan preventif. Artinya jika sebelum menikah ,
kita lebih layak untuk membahas sisi preventif. Selagi masih banyak pilihan dan
kemungkinan, hendaklah sisi ini juga layak untuk diperhatikan.
Apalagi, salah satu tujuan pernikahan juga untuk melanjutkan generasi-generasi
dakwah, sekaligus melahirkan anak-anak shalih yang mendoakan kedua orangtuanya.
Bahkan secara bercanda sering kita mendengar : salah satu bukti kita pernah ada
di dunia ini adalah ; adanya keturunan kita ..
Lantas bagaimana mengetahui subur tidaknya seseorang ? Pada saat ini memang ada
pemeriksaan yang khusus meneliti soal tersebut. Tapi apakah bijak jika kemudian
sebuah pilihan telah dijatuhkan dengan khitbah, baru kemudian kita memaksa
calon kita untuk memerikasakan dirinya di laborat untuk membuktikan satu kata
yaitu kesuburan ? Lalu setelah hasil diterima dan menyatakan tidak subur, kita
dengan enteng bisa mencabut 'lamaran' kita dengan alasan tersebut ? Saya yakin
sepenuhnya itu bukan solusi elegan dan islami dalam menyikapi masalah subur dan
tidak subur, sebagaimana saya juga yakin bahwa tidak mudah bagi seseorang yang
telah 'jatuh cinta' untuk mencabut lamarannya begitu saja. Jadi pemeriksaan
laborat dalam menentukan subur tidaknya seseorang, untuk saat ini rasanya belum
'recommended', kecuali jika ada kondisi-kondisi yang memang sangat membutuhkan
itu.
Cara lain yang 'manual' mungkin dengan mengikuti track record sejarah
keluarganya. Apakah itu ibu, bibi, nenek dan seterusnya. Apakah mereka memiliki
keturunan yang banyak ataukah justru sebaliknya. Demikianlah para ulama kita
menganjurkan agar seseorang bisa sedikit mengetahui subur tidaknya seseorang.
Barangkali bahasan kedokteran lebih cocok ditampilkan dalam masalah ini.
Sampai disini bahasan kita pekan ini, insya Allah kita lanjutkan di pekan depan
tentang kriteria-kriteria lainnya yang perlu dijadikan pertimbangan ikhwan dan
akhwat sekalian dalam mencari teman yang sejati. Wallahu a'lam bisshowab.
Wassalamu'alaikum wr wb.
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
5.Kelima :
Memilih
Kriteria Pasangan (Bagian Kedua)
Lanjutan dalam memilih kriteria, agar semakin mantap melangkah dalam mencari
pasangan pernikahan. Pastikan yang terbaik bagi Anda adalah terbaik bagi
keluarga dan agama.
Assalamu’alaikum warohmatullahi
wabarokatuh …
Ikhwan dan akhwat fillah, semoga Allah SWT senantiasa mempermudah aktifitas
kita dan memberkahinya. Mohon maaf karena kajian ahad pagi yang semestinya saya
post kemarin sempat tertunda karena persiapan mengisi seminari RSI Surakarta.
Mari kita lanjutkan pembahasan kita sebelumnya, yaitu tentang kriteria teman
sejati bagian dua. Setelah sebelumnya kita membahas tentang dua kriteria :
Pemahaman dan Pengamalan Keagamaan serta syarat Kesuburan, maka yang berikutnya
adalah :
Ketiga : Hendaknya menikah dengan Gadis Perawan.
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata : Aku menikah kemudian aku datangi
Rasulullah SAW , lalu beliau bertanya : “ Apakah engkau sudah menikah wahai
Jabir ?” . Aku menjawab : “ Benar”. Belia bertanya kembali : “ Apakah dengan
janda atau gadis ? “ .Maka aku menjawab : “ dengan seorang janda “ . Beliaupun
berkata : “ Mengapa bukan seorang perawan hingga engkau bisa bermain dengannya
dan ia pun bisa bermain2 dengan mu ? “ (HR Bukhori dan yg lainnya)
Kriteria di atas ini tentunya bukan sesuatu yang mutlak atau sebuah keharusan .
Melainkan dianjurkan agar bisa menciptakan kondisi rumah tangga yang lebih
dinamis dan romantis. Dalam prakteknya, istri2 Rasulullah SAW yang dinikahi
dalam keadaan gadis pun hanya ibunda Aisyah ra. Mengapa gadis ? Rasulullah SAW
memberikan alasan : agar engkau bisa bermain-main dengannya dan ia pun bisa
bermain denganmu. Ini artinya, secara fitrah potensi seorang gadis lebih dekat
pada anak-anak yang tulus , lugu dan ceria. Sehingga memungkinkan untuk dianjak
bercanda dengan beragam rupa. Barangkali berbeda dengan janda yang lebih
‘serius’ melihat sebuah pernikahan. Tetapi sekali lagi, setiap orang bisa
memiliki potensi untuk ceria dan kekanak-kanakan tanpa meliat usia dan status
perawan atau jandanya. Wallahu a’lam.
Keempat : Hendaknya berasal dari keturunan yang baik dari sisi agama dan
qonaahnnya.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita dinikahi karena
empat hal : hartanya, nasab keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Maka
pilihlah yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung” (HR Bukhori dan
Muslim)
Hadist di atas memang sebenarnya mewacanakan kriteria pasangan secara umum,
dengan penekanan pada unsur agama sebagai prioritas utama. Tapi itu bukan
berarti menafikkan kriteria lainnya, semisal : keturunan. Hendaknya kita
melihat latar belakang keluarga pasangan kita, khususnya dalam masalah agama
dan qonaahnya. Setidaknya menjadi pertimbangan tersendiri, karena bagaimanapun
keluarga akan memberikan warna pada kepribadian seseorang.
Kelima : Hendaknya mempunyai wajah yang rupawan atau cantik.
Syarat wajah yang rupawan atau cantik tentu saja bukan syarat utama, apalagi
kita juga sama-sama mengetahui bahwa untuk menilai cantik tidaknya seseorang
sangat berbeda-beda. Jadi kriteria ini jangan sampai disalah artikan sebagai
pelecehan perempuan karena hanya dinilai dari sisi fisik saja. Sejatinya
mengapa dianjurkan memilih pasangan yang rupawan juga untuk kepentingan dan
manfaat tertentu, yaitu agar lebih menjaga pandangan dan hati serta bertambah
kecintaan. Karena itulah memang syariat kita menganjurkan untuk menikah, yaitu untuk
menjaga pandangan.
Begitu pula dalam proses khitbah disyariatkan juga an-nadhor atau melihat
pasangan, agar benar2 keputusan yang ada bukan sekedar keterpaksaan. Dalam
hadits lain juga diisyaratkan hal yang senada tentang kecantikan pasangan :
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW ditanya : “ perempuan bagaimanakah yang
terbaik ? “. Beliau menjawab, “ yang membuatmu bahagia ketika engkau
memandangnya …. “ (HR An-Nasa’i).
Meskipun demikian, jika kecantikan kemudian menjadi hal yang pertama dan utama
dalam pilihan kita, maka sesungguhnya akan menyebabkan kerugian di hari-hari
berikutnya. Dalam hadist lain disebutkan : “ Janganlah engkau menikahi wanita
karena kecantikannya, karena bisa jadi itu akan menghancurkannya ( karena
sombong dan ta’ajub) “ (HR Baihaqi)
Keenam : Hendaknya bukan dari kalangan kerabat dekat secara keturunan.
Meskipun dalam Islam dibolehkan kita menikah dengan kerabat dekat yang bukan
mahram : semisal sepupu (anak paman/bibi), tapi kita dianjurkan untuk menikah
dengan mereka yang jauh secara kekerabatan dengan kita. Hikmahnya tentu menjadi
banyak , antara lain :
1- Memperluas persaudaraan dan ta’aruf antar suku atau daerah, sebagaimana
tersirat dalam surat Al-Hujurot ayat 13
2- Menjauhkan dari kemungkinan “memutus tali persaudaraan “ , karena bisa
terjadi pasangan dari kerabat dekat yang berselisih akan memperluas wilayah
konflik menjadi pemutusan hubungan kekerabatan.
3- Menjauhkan dari keturunan yang lemah, sebagaimana dibuktikan dalam
kedokteran genetika modern, dan telah disampaikan Rasulullah SAW sejak lama.
Wallahu a’lam bisshowab. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita untuk
memahami, mengamalkan dan menyebarkan kebaikan2 dalam pembahasan kita pagi ini.
Jazakumullah atas perhatian dan sharenya. Wassalamu’alaikum wr wb.
6.Keenam :
Seputar
Kriteria Agama dan Penjelasannya
Kriteria Agama mutlak menjadi syarat pasangan idaman, namun perlu diperjelas
apa saja yang termasuk dalam kategori kriteria Agama. Banyak yang salah
menafsirkan, melebihkan dan sebagian justru meremehkan. Perlu disepakati
beberapa hal terkait kriteria agama, agar tak banyak masalah saat akad telah
tertunaikan.
Islam menuntun kita bagaimana cara memilih pasangan sejati dalam hidup kita.
Salah satu kriteria yang harus dinomor satukan adalah : ad-diin, yaitu sisi
agamanya.Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita
dinikahi karena empat hal : hartanya, nasab keluarganya, kecantikannya dan agamanya.
Maka pilihlah yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung" (HR
Bukhori dan Muslim)
Sekedar selingan,. ada sebuah anekdot yang unik dalam masalah ini. Dalam
pandangan ikhwan aktifis dakwah , semua akhwat yang komitmen dengan hijab dan
aktif dalam dakwah berarti telah terwakili dari sisi agamanya. Maka kemudian
mereka berpikir, " sekarang tinggal mencari sisi kecantikannya …".
Ya, barangkali itulah sisi kecerdasan tersembunyi seorang ikhwan dalam
berapologi tentang kecenderungan fisik.
By the way, tentu saja yang dimaksud kriteria 'agama' disini adalah mencakup
hal-hal mendasar dalam pemahaman dan pengamalan keagamaan, plus akhlak dan
kepribadiannya. Contoh sederhananya bisa dilihat dengan indikasi sebagai
berikut :
1. Pemahaman : berhubungan dengan akidah tauhid (rukun iman yang enam) dan juga
keyakinan tentang kewajiban agama secara umum (rukun islam). Menjauhi segala
keyakinan dan amalan yang mendekat pada syirik dan bid'ah. Mereka tidak kenal
dukun, sihir, paranormal, dan tidak tergoda untuk melakukan amal yang belum
jelas dalil dan ketentuannya dalam syariat.
2. Pengamalan : untuk wanita memang bisa diidentikkan dengan komitmen dalam
berhijab (jilbab). Secara umum tentu berkaitan dengan ibadah harian, seperti :
sholat berjamaah dan tepat waktu, tilawah al-quran yang memadai, serta
menghidupkan amalan sunnah lainnya. Banyak yang mencoba membantah kriteria ini
dan mengatakan, bahwa nanti setelah menikah kan bisa diperbaiki. Tentu saja
sebagai sebuah keinginan positif hal ini perlu kita hargai, tetapi kenyataan di
lapangan menunjukkan setelah pernikahan terkadang begitu susah untuk mendakwahi
istri sendiri. Bukankah sejarah Nabi Nuh dan Hud juga sudah terpampang begitu
jelas dalam masalah ini ?
3. Kepribadian : indikatornya bisa dilihat cari dia berinteraksi dengan lawan
jenis, bagaimana cara seseorang dalam berdakwah dan berkomunikasi. Bagaimana
kesabaran, optimisme, dan kesungguhan dalam menjalani aktifitasnya. Banyak hal
yang bisa menjadi indikator di wilayah ini, meskipun -tentu saja- tidak semuanya
harus menjadi ideal.
Secara khusus bagi pihak perempuan, syarat ketakwaan seorang laki-laki juga
haruslah menjadi pertimbangan utama sebelum menerima atau menolak seseorang
yang datang melamar.
Dari Abu Hatim ra, Rasulullah SAW bersabda : " Jika datang kepadamu
seorang yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia, jika
engkau tidak melakukannya maka niscaya akan muncul fitnah di muka bumi ini dan
kerusakan yang amat nyata "(HR Tirmidzi , ia berkata : hadits hasan
gharib. Albani mengatakan : Hasan lighairihi)
Begitu pula disebutkan dalam riwayat, saat seseorang datang kepada Hasan bin
Ali ra -cucu Rasulullah SAW- dan berkata : " Aku mempunyai seorang putri,
menurutmu dengan siapa sebaiknya aku nikahkan dia ? ". Maka Hasan ra
berkata : " Nikahkanlah putrimu dengan laki-laki yang bertakwa (takut
kepada Allah), jika ia mencintai (putrimu) maka ia akan memuliakannya, dan jika
sekalipun ia membenci (tidak suka) putrimu, ia tidak akan menyakitinya."
Jadi, kriteria agama bukanlah sesederhana yang kita bayangkan, yaitu sekedar
berjilbab, mengaji atau keturunan kyai misalnya. Tapi ada serangkaian hal yang
perlu kita pertimbangkan kembali sebelum memilih atau menerima calon suami /
istri . Yang terjadi selama ini memang selalu tidak ideal. Hati sudah tertambat
erat baru mempertimbangkan kriteria, maka yang terjadi biasanya hanyalah
permakluman-permakluman.Selamat mempertimbangkan dan salam optimis.
7.Ketujuh :
Permasalahan
Seputar Khitbah
Tunangan atau lamaran barangkali sudah membudaya. Dalam Islam khitbah lah yang
menjadi sarananya, Bukan sekedar simbolik pengikat tukar cincin, namun sebagai
bukti komitmen dan janji pernikahan seorang laki-laki kepada keluarga wanita.
Pernak-pernik seputar khitbah begitu banyak, salah satunya adalah bagaimana
kalau ada yang kedahuluan dilamar orang ?
Syariat Islam yang Indah menjaga hubungan ukhuwah antar saudara seiman, dari
mulai hal yang sederhana, hingga hal yang sensitif seperti khitbah dan lamaran.
Karenanya secara umum, dilarang seorang mengkhitbah perempuan yang sudah
dikhitbah oleh saudaranya. Namun kenyataan di lapangan, hal ini sering dipahami
begitu sempit sehingga akhirnya banyak orang yang terpaksa menerima kenyataan
untuk melangsungkan ‘ pernikahan tanpa cinta’ atau juga ‘cinta tanpa
pernikahan’.
Banyak yang sempat mempunyai kecenderungan dengan seorang wanita, dan
wanita itupun juga mempunyai kecenderungan yang sama. Tapi kemudian
laki-laki tersebut harus gigit jari kuat-kuat karena tiba-tiba wanita tersebut
telah dikhitbah oleh orang lain entah dari mana. Maka ia pun tenggelam dalam
penyesalan tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Kasus semacam ini, ujung-ujungnya
mungkin bisa berakibat perselingkuhan dan lain sebagainya.
Karenanya, tanpa tendensi apapun saya ingin menyarankan bahwa ‘harapan itu
masih ada’. Masa depan cinta suci Anda tidak harus pupus begitu saja saat
wanita yang Anda suka telah dikhitbah. Namun semua tergantung keberanian
Anda, beranikah Anda ikut turun ke gelanggang dengan ikut mengkhitbah si dia ,
sebagai bukti kesungguhan dan perjuangan Anda ?
Sungguh, tanpa bermaksud memprovokasi, sebenarnya ada beberapa kondisi yang
memperbolehkan kita untuk mengkhitbah wanita yang mungkin telah di khitbah, dan
bahasan ini pun sudah banyak di bahas oleh para ulama . Kondisi tersebut
antara lain:
Pertama : Khitbah yang pertama telah jelas di tolak, atau pihak lelaki jelas
telah membatalkannya
Dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw bersabda: Seorang mukmin adalah
saudara mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang
telah dibeli saudaranya, dan mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah
saudaranya, hingga laki-laki itu meninggalaknnya (HR Muslim).
Untuk kasus ini, berarti Anda memang bersikap cukup pasif dengan senantiasa
menunggu-nunggu keputusan baik dari pihak keluarga perempuan, atau juga
keseriusan laki-laki yang mengkhitbah.
Kedua : Laki-laki yang mengkhitbah tersebut mengijinkan dan
memperbolehkan Anda ikut mengkhitbah
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda:Dan janganlah seorang laki-laki
mengkhitbah (wanita) yang telah dikhitbah laki-laki lain hingga laki-laki yang
mengkhitbah sebelumnya meninggalkannya atau diizinkan laki-laki itu (HR
Muslim).
Dalam kasus ini mungkin Anda beruntung, karena laki-laki yang telah mengkhitbah
tadi adalah seorang yang percaya diri dan gentle, mau bertanding satu lawan
satu dengan Anda. Maka ia memperbolehkan Anda mengkhitbah wanita yang juga
telah Anda khitbah. Memang jarang tipe model yang semacam ini, tapi bisa jadi
anda termasuk yang beruntung saat hal ini terjadi pada Anda.
Bagi keluarga wanita, hal ini harus dipahami dengan baik agar tidak
tergesa-gesa menolak khitbah Anda atau laki-laki yang datang kedua, sementara
laki-laki pertama telah menyetujui. Tapi ingat, pastikan bahwa Anda dan
laki-laki tersebut harus sama-samamempunyai perjanjian yang fair, bahwa ukhuwah
tetap solid dan tidak akan terbelah apapun hasil yang akan diterima nantinya.
Ketiga : Boleh, Jika Anda tahu pasti bahwa belum ada jawaban yang
jelas dari pihak perempuan.
Dalam Syarh Sunan Tirmidzi, disebutkan ungkapan Imam Syafi’I : bahwa
Makna hadis : Dan janganlah seorang laki-laki mengkhitbah (wanita) yang telah
dikhitbah “ bagi kami, maknanya adalah : jika seorang laki-laki
mengkhitbah wanita dan wanita itu ridho (suka) dan cenderung kepadanya , maka
tidak boleh seorang pun mengkhitbah wanita itu lagi. Tapi (sebaliknya)
selama belum diketahui bahwa wanita itu menerima (khitbah) atau cenderung
kepada laki-laki tadi, maka tidak mengapa mengkhitbah wanita tersebut.
Dalilnya pendapat imam Syafii di atas adalah hadits Nabi saw. Diriwayatkan oleh
Fathimah binti Qais, ketika ia sudah selesai masa iddahnya, ia dikhitbah oleh
dua orang, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Ketika hal itu
disampaikan kepada Rasulullah saw, beliau kemudian bersabda: Tentang Abu Jahm,
dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat
suka memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah
dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim). Imam Syafi’I menambahkan : hadits di atas
bagi kami, bahwa Fatimah belum memberikan jawaban yang jelas kepada salah satu
dari keduanya.
Melengkapi riwayat diatas, mari kita cermati riwayat berikut ini, yang
menunjukkan adanya dua khitbah karena belum ada kejelasan dari pihak keluarga
perempuan. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah : Datang seorang
laki-laki pada Rasulullah SAW dan berkata : Ya Rasulullah, kami mempunyai
seorang anak gadis yatim yang dikhitbah oleh dua orang, yang satu miskin dan
yang satu adalah orang kaya. Dia (anak gadis kami) cenderung (cinta) pada yang
miskin, sementara kami lebih menyukai pada yang kaya. Maka Rasulullah bersabda
: “ Tidak pernah terlihat (lebih menakjubkan) bagi dua orang yang saling
mencintai seperti pernikahan “ (Kitab Al-Luma’ fi asbabil wurud hadits)
Dalam dua riwayat di atas, jelas-jelas ada dua khitbah, tetapi Rasulullah
bukannya memarahi sang perempuan dan keluarganya, misalnya dengan kata-kata :
mengapa menerima khitbah dua kali ? , tetapi beliau justru memberikan saran
tentang pilihan yang semestinya di putuskan. Wallahu a'lam.
Akhirnya, sekali lagi saya mengingatkan bahwa hal-hal yang termaktub di atas
jangan di salah gunakan, tetapi di jalankan dengan penuh niatan baik, tanpa
tendensi syahwati, dan tetap dengan menjunjung tinggi nilai ukhuwah islamiyah.
Mengapa saya menuliskan ini, karena banyak hasil dari pemahaman yang salah dari
larangan khitbah di atas, kemudian membuat banyaknya pernikahan dengan
keterpaksaan, yang selanjutnya akan mengarah ke perselingkuhan dan sejenisnya.
Naudzubillah
8.Kedelapan :
Mempersiapkan
Maskawin sesuai Syariat
Mahar atau maskawin terlalu sering diremehkan di negara kita ini. Hanya secarik
rukuh dan sejadah maka dianggap telah cukup membahagiakan. Ini memang bukan
soal salah atau benar, halal atau haram, tetapi perlu dihayati makna sebuah
pemberian mahar tersebut, juga dilihat dari sisi budaya dan adat tiap daerah
atau keluarga yang mungkin berbeda.
Setiap daerah mempunyai kebiasaan dan budaya yang berbeda. Kata-kata bijak
dari khasanah budaya jawa mengabadikan kondisi tersebut dengan ungkapan :
negoro mowo toto, deso mowo coro. Bahkan di dalam kajian ushul fikih,
pertimbangan budaya atau adat juga termasuk menjadi salah satu metodologi
pengambilan sebuah hukum. Ketika sebuah adat tidak bertentangan dengan syariat,
maka bukanlah sebuah cela saat seorang muslim ikut meramaikan dan
mensyiarkannya. Pada sisi ini, barangkali fenomena mudik, lebaran, dan halal
bihalal nampaknya menjadi contoh yang gamblang tentang akomodasi syariat
terhadap nilai-nilai budaya. Lebih menarik lagi di Minangkabau, antara adat dan
syariat ternyata bersintesis dengan baik hingga menampilkan wajah : "Adat
basandi syara', syara' basandi kitabullah", yang artinya adat bersendikan
syariat (ajaran agama) dan syariat bersendikan kitab Allah SWT (Al Qur'an).
Subhanallah
.
Begitu pula saat kita bicara pernikahan, pastilah akan membahas tentang budaya
dan adat yang ada seputarnya. Ada adat yang menyalahi syariat, ada pula yang
masih dalam koridor syariat. Tentu disini bukan tempat untuk membahas satu
persatu adat dan budaya pernikahan yang menyalahi syariat. Saya hanya ingin
sekedar berbagi tentang keunikan perbedaan budaya pernikahan antara masyarakat
di Indonesia dan di Arab. Keduanya sama-sama mempunyai budaya yang unik seputar
pernikahan, berbeda satu sama lainnya, bahkan saling bertentangan, tapi
sama-sama dalam batas koridor syariat. Budaya yang unik tersebut diantaranya :
Budaya Mahar di Indonesia
Bagi masyarakat Indonesia secara umum, mahar tidak identik dengan sesuatu yang
besar dan bernilai tinggi. Mereka cukup sederhana dalam menentukan besaran
mahar, yang penting ada kenangan dan kesan yang mendalam bahkan setelah
bertahun-tahun pernikahan. Pada sisi ini bolehlah kita menyebutnya sebagai
sebuah hal yang romantis. Masyarakat kita memang menyukai simbol, karena mahar
pun biasanya identik dengan simbol keagamaan atau kasih sayang. Biasanya
seperangkat alat sholat, plus beberapa gram perhiasan. Ada juga yang bernilai
besar, tapi tidak setara dengan kekayaannya, karena mereka menginginkan sebuah
kenangan. Pernikahan artis yang kaya raya misalnya, ternyata besaran maharnya
‘tidak seberapa’ karena disesuaikan dengan tanggal pernikahan mereka yang hanya
berderet 6 sampai 8 angka.
Dalam sebuah pernikahan, nampaknya mahar di Indonesia menjadi aksesoris
pelengkap saja yang tidak banyak menyita pikiran orang. Pihak mempelai maupun
orangtua biasanya lebih ‘heboh’ dalam membahas pesta pernikahan, prosesi, dan
ritualnya daripada menyinggung soal mahar. Mungkin juga ini adalah bentuk
aplikasi budaya ewuh pakewuh dan masih melekat dalam masyarakat kita. Keunikan
lain juga, biasanya mahar hanya berupa hal-hal tertentu saja sebagaimana yang
disebutkan di atas, tetapi selain itu terkadang mempelai laki-laki malah
memberikan ‘hadiah tunangan’ yang jumlahnya jauh lebih besar dan berlipat-lipat
dari mahar yang diberikan. Unik memang.
Budaya Mahar di Saudi
Lain di Indonesia, lain di masyarakat arab sana. Di negara tambang minyak itu
sejak dulu kala sangat dikenal dengan mahalnya sebuah mahar menuju pernikahan.
Budaya ini pun kemudian melahirkan kegelisahan dan persoalan di tengah
masyarakat, karena banyaknya pemuda dan wanita yang tak kunjung menikah meski
usia melewati kepala tiga dan empat. Hingga pemuda-pemuda Saudi saat ini
berkampanye lewat internet mengajak untuk tidak menikahi perempuan Saudi. Hal
itu diakibatkan semakin mahalnya mas kawin dan biaya resepsi pernikahan (Saudi
Gazette, 11 Feb 09).
Lalu berapa besar sih mahar khas Arab itu ? Di Saudi misalnya, jika seorang
pemuda mau menikahi gadis di sana, biasanya harus menyiapkan : mahar / mas
kawin 40.000,- Real atau 90 Juta rupiah dan biaya pesta 15.000 Real atau 40
Juta. Itu belum syarat lainnya seperti : calon suami harus memilki rumah dengan
furniture lengkap walaupun sewa, calon suami kalo bisa memliki mobil untuk
transportasi walaupun yang jadul sekalipun. Nah, besar sekali bukan ? Jika mau
dibandingkan dengan negara kita, kalau mahar itu cukup ‘rukuh dan sajadah’,
maka di Arab bisa jadi maharnya adalah “ pabrik rukuh dan sajadahnya”.
Lalu bagaimana besaran mahar secara syariat ?
Mahar tidak lain adalah sebuah pemberian, karenanya bisa berbeda besarannya dan
tidak pernah ditentukan kadarnya karena disebut besar tidaknya sangat
bergantung dengan kemampuan finansial yang memberi. Karenanya para ulama
bersepakat tidak ada batas maksimal dalam pemberian mahar. Ini dilandaskan pada
firman Allah SWT : “sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara
mereka harta yang banyak (qinthaar),” (QS Nisa 20). Pernah ada upaya Umar bin
Khotob membatasi besaran mahar, tetapi ditentang dan dibatalkan karena
bertentangan dengan ayat di atas. Jadi, nampaknya masyarakat Saudi
mengoptimalkan mengambil peluang sisi ini, karena secara syariat tidak ada
batas maksimal dalam mahar.
Namun, meskipun demikian, syariat tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal
yang berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah:
“ "Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang
paling sedikit/murah mas kawinnya."(HR Thobroni)
Adapun tentang batas minimal, maka memang ada perbedaan ulama seputar masalah
ini, sebagai berikut :
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham ( ada juga
riwayat : seperempat dinar). Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan
wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai seperempat
dinar atau lebih.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau satu
dinar. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak
pernah kurang dari 10 dirham.
Catatan : jika dikonversikan ke rupiah, dimana 1 dinar adalah 4,25 gram emas 22
karat, maka batas minimal mahar versi Malikiyah adalah sekitar Rp 300.000,- dan
Hanafiyah adalah 1 juta lebih sekian.
Sementara itu Ulama Syafi'iah (yang madzhabnya tersebar di Indonesia) dan
Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu
bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk
seperangkat alat salat). Mereka mendasarkan pendapatnya pada keumuman ayat
Al-Quran : "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, yaitu mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S.
al-Nisa' : 24). Maka harta dalam ayat tersebut bersifat umum bisa besar dan
kecil. Begitu pula ditambah dalil lain tentang bagaimana Rasulullah SAW
menikahkan sahabat dengan hafalan quran bahkan dengan cincin besi.
Nah, barangkali karena Indonesia menganut madzhab syafii yang tidak mempunyai
batas minimal mahar, maka sangat wajar jika kemudian kita lihat masyarakat kita
pun tak begitu peduli dengan besaran mahar, apa adanya dan sewajarnya saja.
Uniknya ini tidak berlaku di Saudi yang bermadzhab Hanbali, semestinya mereka
tidak terlampau strict soal besaran mahar. Wallahu a’lam bisshowab .
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
9.Kesembilan :
Bagaimana
Menyelenggarakan Resepsi Nikah
Resepsi pernikahan bisa dijadikan ajang pestra hura-hura yang memboroskan, bisa
juga dibuat sebagai bentuk syukur yang penuh kesan dan kekhusyukan. Semua
bergantung cara kita memahami dan mengkomunikasikannya kepada keluarga. Bekal
tentang pernikahan Islami perlu diperhatikan sejak dini.
Pagi ini seperti biasa, setiap ahad
pekan ketiga jadwal bulanan saya untuk mengisi pengajian IKADI di masjid agung
kauman kabupaten Sragen. Kali ini saya mengambil tema tentang adab dan hukum
seputar Walimah. Sengaja saya berbicara masalah walimah, karena secara umum
hari-hari ini banyak dari kita yang menjalankannya, baik sebagai shohibul hajat
(yang punya gawe) atau sebagai pihak yang diundang. Bahasan fiqh haruslah
membumi, karenanya jangan sampai ketinggalan dan kehilangan momentum saat
membahasnya di tengah masyarakat kita. Misalnya,jika lewat syawal kita masih
bicara fiqh romadhon, maka tentulah yang mendengarkan akan menyimak dengan
malas-malasan.
Pembahasan walimah berbeda dengan fiqh munakahat, karena yang dibahas pada sisi
walimah hanyalah rangkaian acara teknis seputar akad pernikahan, secara khusus
lagi yang berkaitan dengan jamuan dan perayaan yang melibatkan banyak tamu
undangan. Syariat Islam yang indah menganjurkan kita menyelenggarakan walimah
dengan banyak hikmahnya, begitu pula menganjurkan agar kita menghadiri setiap undangan
walimah agar kebahagiaan shohibul hajah semakin sempurna, dan ukhuwah pun
semakin membumbung tinggi ke langit sana.
Saya membagi bahasan seputar walimah dalam empat bab , masing-masing :
- Pengertian dan Hukum Walimah, baik penyelenggaraan atau
kehadiran di dalamnya.
- Hikmah penyelenggaraan Walimah
- Adab menyelenggarakan Walimah
- Adab menghadiri Walimah
Setiap sisi dan bagian di atas mempunyai bahasan unik yang tersendiri,
karena setiap daerah dan setiap tempat terkadang mempunyai budaya berbeda dalam
penyelenggaraan walimah, di sinilah syariah menjadi wasit dana acuan bagi kita,
agar keberkahan dan keindahan walimah semakin terjaga.
Yang selalu menarik adalah sesi pertanyaan, apalagi banyak yang ditanyakan
adalah permasalahan menyumbang 'amplop' beserta isinya saat menghadiri
pernikahan. Bagaimana pandangan syariat dalam masalah tersebut. Nah, bagi Anda
yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam seputar adab dan hukum walimah, atau
ingin berbagi inspirasi dan motivasi kepada teman-teman yang lainnya. Silahkan
download materi powerpointnya dengan mengklik link di bawah ini. Segala saran
dan kritik senantiasa kami harapakan.
KLIK
DISINI : Download Powerpoint Adab Walimah
salam optimis
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
10.Kesepuluh :
Menyiapkan
Malam Pertama
Malam pertama perlu disiapkan sedemikian rupa. Baik dari sisi istri maupun
suami. Ini bukan soal gairah semata, namun keindahan yang layak dikenang. Bisa
berawal dari penataan ruangan dan penampilan, misalnya.
Saat malam pertama hampir menjelang, boleh jadi penampilan kita tampak
menakjubkan . Boleh jadi penampilan dalam kita pun sudah terasa sangat
meyakinkan. Boleh jadi pula, semua aroma yang keluar dari tubuh kita telah
menandaskan semua arti keharuman. Tidak selintas pun bau tak sedap lewat menghadang.
Boleh jadi semua itu telah kita miliki, namun sesungguhnya itu belum
cukup. Kita masih membutuhkan sebuah penataan kamar pengantin yang indah,
elegan dan berkesan. Jika perlu, sebuah desain interior kamar pengantin yang
bersejarah. Dihiasi pernik-pernik yang syar’I dan menghangatkan jiwa. Juga
harum-haruman yang mengundang selera, pesona, bahkan gairah seksual kita.
Diantara sekian kelengkapan-kelengkapan kamar pengantin yang harus kita
perhatikan, agar malam singkat ini berjalan nyaman dan berkesan, antara lain
sebagai berikut :
Pertama : Pengharum ruangan yang elegan.
Tidak terlalu semerbak tapi menghanyutkan. Bisa dipilih dari bunga-bunga wangi
segar yang berkesan natural dan tahan lama. Atau bisa juga produk industri yang
praktis dan tak kalah semerbak macam ragamnya. Wangi-wangian ini akan menutupi
jika ada aroma-aroma tubuh yang tidak bisa ditangani lagi. Apalagi, jika nanti
energi banyak terkuras, maka keringat akan banyak berloncatan keluar dan
akhirnya membaui sprei, ranjang, juga pakaian.
Rasulullah bersabda, “ Yang sangat aku cintai dari duniamu, adalah istri dan
haruman. Dan dijadikan shalat sebagai penyejuk mataku (HR Hakim)
Kedua : Pencahayaan yang cukup.
Tidak terlalu terang yang bisa mengundang rasa malu karena terlihat begitu
vulgar saat berhubungan badan. Tidak pula terlalu suram atau bahkan tanpa
cahaya sama sekali, hingga menyulitkan fase eksplorasi, juga mengurangi gairah
masing-masing suami istri. Apalagi bagi laki-laki, rasa-rasanya lebih semangat
jika bisa melihat dengan jelas semua yang dahulu haram baginya untuk dilihat.
Laki-laki mudah terangsang dengan melihat, sedangkan perempuan dengan mencium
atau membaui. Tentang kecenderungan unik ini, Rasulullah saw jauh-jauh hari
telah mengisyaratkan : Ketahuilah bahwa wewangian laki-laki itu ada baunya
tetapi tidak ada warnanya, dan ingatlah bahwa wewangian wanita itu yang ada
warnanya tetapi tidak ada baunya. “ (HR Tirmidzi)
Lebih dari itu, pencahayaan yang kurang juga akan memunculkan kesan ruangan
yang lembab, dan kadang-kadang penuh misteri. Ini akan mudah memainkan emosi
sang penghuni. Ruangan redup, mampu membuat semangat hidup penghuninya redup
pula. Nyaris tanpa gairah.
Ada pencahayaan lain yang alami, yaitu dengan sinar matahari. Ini merupakan
sesuatu yang tidak bias diremehkan begitu saja. Sinar mentari yang masuk dalam
kamar kita, selain menyehatkan, menghangatkan, juga bisa menjadi pertanda bagi
suami istri bahwa hari telah begitu siang, saatnya bangun dan beraktifitas.
Maklumlah, pengantin baru.
Ketiga : Pergantian udara yang nyaman.
Ini berarti harus memenuhi syarat kesehatan sebuah ruangan ; ada jendela atau
ventilasi udara. Jika celah udara terlalu sempit, maka akan terasa panas.
Produksi keringat bertambah banyak, emosi juga cepat tersulut. Belum lagi jika
ada aroma-aroma baru yang belum pernah ditemui sebelum ini. Namun sebaliknya,
jika celah udara terlalu lebar angin akan masuk berhamburan, dan suasana
menjadi terlalu dingin. Ini memang menyenangkan bagi para pasangan baru. Tapi
ceritanya akan lain jika mengakibatkan masuk angin. Sejatinya semua
urusan yang terbaik adalah yang wajar dan pertengahan.
Meski demikian, jika ruangan kita lebih luas, memang akan tercapai kenyamanan
yang berlebih pula. Hal ini diakui oleh teladan kita saw. Dari Nafi' bin
Harits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : sebagian dari
kebahagiaan seorang muslim di dunia :, tetangga yang baik, tempat tinggal yang
luas, dan kendaraan yang nyaman “(HR Hakim)
Untuk sirkulasi udara yang lebih terjamin, kita bisa menggunakan kipas angin,
saringan udara atau juga Air Conditioner. Selain kita memperoleh kenyamanan,
alat-alat tersebut dapat menghasilkan suara yang membuat para suami istri tidak
ragu dan malu-malu lagi dalam memulai aktivitas malam pertamanya.
Keempat : Kebersihan yang terjamin.
Kebersihan adalah bagian dari cabang keimanan seseorang. Kamar bersih memang
bukan sekedar yang terawat secara rutin, baik dengan pel harian ataupun sekedar
sapu dua kali sehari. Kamar bersih tidak mengundang dan mengandung komunitas
pengganggu kenyamanan seperti lalat, nyamuk dan kecoa, dan juga sampah-sampah
misalnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “ Bersihkanlah teras dan
halaman rumah kalian, jangan menyerupai orang-orang Yahudi yang biasa menyimpan
akba (sampah) di rumah-rumah mereka.” ( Musnad Al-Bazzar )
Kelima : Desain interior yang mendukung mesra.
Selain yang sudah pasti harus ada seperti ranjang, almari pakaian, dan kaca
hias, bisa juga Anda menambahkan pernik-pernik lainnya yang mendukung mesra.
Sebut saja contohnya : vas bunga yang semerbak mewangi, lukisan pemandangan
alam yang menyentuh hati, kain gorden dengan warna kesukaan yang romantis. Atau
apapun saja, yang bisa memanjakan mata kita, menyamankan raga dan menghangatkan
jiwa. Jangan lupa, singkirkan juga hal-hal yang bisa merusak ketenangan
Anda malam ini. Contoh sederhananya : matikan handphone atau pesawat telpon
Anda !
Alhamdulillah, beberapa persiapan menyambut malam pertama telah kita lalui.
Selanjutnya, bersiaplah untuk fase berikutnya yang sangat menentukan, juga
menegangkan. Uniknya, fase ini juga menjanjikan berjuta keindahan. Subhanallah.
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
11.Kesebelas :
Misteri
Keperawanan di Malam Pertama
Malam pertama bagi sebagian orang menjadi momok yang menakutkan. Tuntutan akan
keluarnya darah justru membebani banyak wanita. Bagaimana cara islam memandang
hal yang sensitif ini ?
Seorang teman di FB bertanya tentang kegelisahannya seputar rencana
pernikahannya. Ia menuliskan dalam messagenya :
PERTANYAAN
Assalamuallaikum ustadz,
Mohon maaf sebelumnya, saya ingin memohon pendapat atas permasalahan saya yang
baru saja muncul.
Saya saat ini sedang berhubungan dengan seorang wanita di tempat kerja saya,
dia adalah sosok wanita yang secara fisik sempurna.
Dan memang pada awalnya saya niatkan utk secepatnya menikah dengannya untuk
menghindari zinah dan fitnah.
Tetapi kemarin, saya baru saja mengetahui darinya bahwa dia tidak lagi perawan.
Memang terakhir dia berpacaran dengan seorang pria selama 9 tahun.
Saya jadi hilang arah, entah apa yang harus saya lakukan. Bagaimanapun
keperawanan adalah hal yang penting bagi saya.
Dan memang, wanita itu sekarang menyesali atas apa yang telah dia lakukan dulu.
Entah apa yang direncanakan Allah. Saya jg bukanlah seorang muslim yang selalu
taat kepada-Nya. Tetapi saya selalu berusaha menjadi lebih baik.
Salah satu langkah saya adalah untuk sesegera mungkin menikah agar terhindar
dari pergaulan bebas. Tetapi sekarang muncul keraguan dalam hati.
Saya masih menyayanginya, tetapi saya selalu teringat akan dirinya yang sudah
tidak lagi perawan.
Jujur, saya jg munafik, banyak perbuatan mendekati zinah yang telah saya
lakukan, tetapi tidak pernah mencapai mengambil keperawanan wanita yang menjadi
pacar saya.
Mohon pendapatnya atas hal ini, ustadz, saya tidak tahu harus bicara kepada
siapa.
Terima kasih.Wassalam.
JAWABAN :
Wa'alaikum salam warohmatullah. Anda bertanya tentang pentingnya arti
keperawanan dalam sebuah pernikahan. Untuk menjawabnya, saya teringat dengan
satu bahasan yang pernah saya tulis dalam buku Inspiring Romance, yaitu :
" Sekalipun tidak ada Darah yang Menetes ". Semoga bermanfaat.
BAHKAN SEKALIPUN TAK ADA DARAH MENETES
Ada malam pertama yang seharusnya terindah dalam hidup berubah menjadi neraka
dan ladang pembantaian harkat dan martabat suami istri. Sebab yang paling
banyak adalah karena tak ada sedikitpun darah yang menetes dari kemaluan
mempelai perempuan. Kesimpulan singkatnya, pengantin perempuan tidak perawan
lagi dan bukan orang baik-baik. Pengantin pria pun merasa ditipu dan
dikhianati. Akibatnya terkadang cerai ditempat. Ada pula yang berubah menjadi
bom waktu yang setiap saat bisa meledak dalam kehidupan rumah tangga itu. Lebih
jauh lagi, pernah terdengar ada yang sampai menyakiti dan membunuh istri di
malam pertamanya, karena terlalu besar harapan dan kekecewan yang
dijumpainya.Naudzubillahi min dzalik. Sungguh sebesar inikah arti setetes darah
?
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya
persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran “ (QS An-Najm 28)
Semua hal ini bersumber dari satu hal : nilai agung keperawanan. Masyarakat
timur masih tinggi menjunjung nilai ini. Seorang pengantin tidak perawan bagi
mereka adalah aib besar keluarga. Di lain tempat, saya pernah membaca sebuah
tradisi unik, saat pengantin pria membawa pasangannya ke kamar pengantin, berduyun-duyun
serombongan orang menunggu tepat dihadapan pintu kamar tersebut. Sesaat
setelahnya, pengantin pria keluar dengan membawa sehelai kain yang ada bercak
darahnya lalu memperlihatkannya pada mereka yang menunggu di luar. Setelah
melihat darah itu, mereka pun merasa puas dan bergembira. Merayakannya dengan
pesta ‘keperawanan’ dan meninggalkan kamar pengantin dengan segera. Lihat,
betapa tinggi sebuah keperawanan, hingga masyarakat pun ikut ambil bagian dalam
proses penilaiannya.
Adapun masyarakat barat, sebagian besar tak lagi menuntut keperawanan saat
menikah. Itu tidak lagi menjadi sebuah hal yang agung. Para orang tua tidak
lagi berpesan pada anak gadisnya saat keluar rumah untuk hati-hati dalam
bergaul. Mereka cukup cerdas dan visioner dengan memberikan sejumlah kondom
sebagai bekalnya diluar rumah. Asalkan tidak hamil, asalkan suka sama suka maka
lelaki manapun sah-sah saja menikmati tubuh anak gadisnya. Naudzubillahi min
dzalik.
Lalu bagaimana dengan kita ? Menjawab ini semua butuh hati bijak dan rasio
mendalam. Permasalahannya tidak sekedar ada tidaknya darah yang keluar.
Pandangan banyak orang terlalu cepat menyimpulkan bahwa tidak ada darah,
berarti tidak perawan. Tidak perawan disimpulkan bukan gadis baik-baik. Apalagi
jika tidak dikomunikasikan hal itu sebelumnya, sang suami menyimpulkan ada
penipuan terencana, merasa dikhianati, kecewa, dan lain sebagainya.
Setidaknya ada empat sikap dan pemahaman yang harus kita tahu, pahami, dan
jalani dalam menyikapi berbagai permasalahan yang menyangkut ada tidaknya darah
yang keluar di malam pertama. Namun sebelumnya, harus ada keinginan luhur untuk
menjaga keindahan dan kemesraan malam pertama. Apapun yang terjadi. Bahkan
sekalipun tak ada setetes darahpun yang keluar.
a. Intropeksi diri, Mengkaji Ulang cara memilih Anda.
Allah SWT berfirman : “ Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula) dan
wanita baik-baik untuk laki-laki baik, dan laki-laki baik-baik untuk wanita
baik-baik(pula) “ (QS An-Nur : 26 )
Ada sebuah isyarat yang diungkapkan ayat diatas, bahwa pada umumnya setiap
orang mempunyai kecenderungan yang sama dengan pasangannya. Ini sama sekali
terlepas dari pembahasan fikih bab syarat sekufu’ dalam memilih jodoh.Ini masalah
kecenderungan yang berhubungan dengan hobbi, kebiasaan, karakter, kesukaan,
teman dan lingkungan, dan sebagainya. Isyarat yang senada juga ada dalam hadits
: “ Jiwa-jiwa itu bagaikan pasukan yang dibariskan, yang saling senang akan
bertemu dan yang saling benci tidak akan bertemu “ ( HR Muslim (2638) dari Abu
Hurairah ). Hadits tersebut adalah komentar Rasulullah saw, saat mendapati
seorang wanita Mekkah yang gemar bercanda lalu hijrah ke Madinah dan bertemu
akrab dengan wanita Madinah yang juga suka bercanda !
Maka, pada umumnya karakter kita tidak akan jauh-jauh berbeda dengan pasangan
kita. Saya beberapa kali mengomentari saat ada seorang ikhwah mengeluh tentang
proses pernikahan aktifis dakwah yang berawal dari sebuah imel, chatting, atau
bahkan sms, dan mengabaikan ‘jalur’ konsultatif dengan para murobbinya. Saya
mengatakan padanya, dengan berlandaskan ayat di atas ; bahwa akhwat yang gemar
chatting wajar jika mendapat ikhwan yang gemar chatting pula. Mereka yang suka
berbalas sms wajar jika mendapat pasangan mereka yang suka berbalas sms juga.
Ini artinya apa ?
Dalam konteks tidak ada darah pada malam pertama, sungguh ini adalah sebuah
konsekuensi dari pilihan kita jauh-jauh hari sebelumnya. Ketika kita berproses,
ada jeda yang cukup untuk menimbang ulang dan mencari data tambahan sebagai
bahan pertimbangan. Kita pun sadar sepenuhnya, bahwa prioritas kriteria
pasangan kita adalah agamanya bukan ? Terlebih, setelah pilihan itu
terlegitimasi secara penuh dengan keyakinan kita usai sholat istikhoroh.
Kemudian setelah semua fase dan pertimbangan kita lampui, hati kita teguh
menyatakan bahwa dia pilihan kita, maka sesungguhnya pada saat yang sama kita
telah berikrar untuk siap konsekuen, menerima, dan bertanggung jawab atas
hal-hal yang kita temui pada pasangan kita di kemudian hari.
Tidak sedikit mereka yang mengetahui persis bagaimana keadaan pasangannya jauh
sebelum mereka menikah. Dari yang terkenal playboy gonta-ganti pacar, mantan
pemakai narkoba, generasi hura-hura, hingga mereka yang alim, santun, dan
mengenal dakwah sejak masih berpakaian OSIS. Bukankah semua itu telah menjadi
pertimbangan jauh-jauh hari sebelum akad ditunaikan ? Maka pertanyaan
selanjutnya adalah : Setelah semua pertimbangan dan keyakinan kita bahwa
pilihan kita tidaklah salah, baik dari segi aqidah, akhlak, ibadah,
kepribadian, dan pemahaman agamanya, maka apalah artinya ada tidaknya setetes
darah di malam pengantin ini ?
b. Mengetahui Sejarah Darah, Tidak lekas berburuk sangka
Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain (QS Al-Hujurat : 12)
Memang tidak mudah membiaskan prasangka buruk menjadi sebuah permakluman.
Sementara banyak orang menyatakan bahwa tidak ada darah, berarti istri kita
mempunyai masa lalu yang kelam. Naudzubillah. Untuk menghindari segala
persangkaan yang tak perlu, apalagi jika berakibat kontak fisik hingga
perceraian, ada baiknya kita mengetahui ‘sejarah’ ada tidaknya darah di malam
pertama.
Sejarah munculnya darah tersebut adalah robeknya hymen (selaput dara), yaitu
kulit tipis yang terletak menutupi sebagian besar muara / mulut vagina.
Bentuknya setengah lingkaran dan ada lubang kecil untuk mengalirkan darah haidh
dan sekresi. Kebanyakan hymen ini memang robek dan berdarah saat terjadi
persenggamaan perdana, entah di malam pertama atau malam-malam sebelumnya,
dalam kasus perzinaaan atau perkosaan misalnya.Namun tidak menutup kemungkinan
tidak ada darah sedikitpun yang keluar saat senggama, karena disebabkan kondisi
selaput dara yang beragam. Ada selaput dara yang elastis atau lentur sehingga
tidak robek saat senggama ; Ada selaput dara yang berlobang besar hingga tidak
robek saat dilalui oleh penis; Ada pula yang memang sudah robek saat kecil
karena kecelakaan atau berolahraga.
Nah, begitu banyak kemungkinan yang seharusnya bisa menghindarkan kita dari
rasa was-was dan curiga karena tidak ada darah di malam pertama. Ketika kita
tahu persis siapa pasangan kita dan bagaimana sebagian sejarah hidupnya, maka
adalah tidak layak jika tiba-tiba kita berbalik 180 derajat dan menuduhnya yang
bukan-bukan, hanya saat kita melihat tak ada darah di malam pertama.
Kalau ingin sekedar melihat darah di malam pertama, maka kedokteran modern saat
ini telah menemukan operasi untuk membuat selaput dara palsu. Sehingga mantan
(maaf) pelacur sekalipun akan terlihat bak gadis perawan saat malam pertama
pernikahannya. Anda mau yang seperti itu ? Naudzubillah
c. Taubat : Anti Virus Masa Lalu yang paling canggih
Bahkan sekalipun ada bibir mungil yang menangis penuh iba malam itu. Menyatakan
bahwa ada kejadian kelam di masa lalu telah merenggut keperawanannya. Sang
suami pun tidak bisa serta merta memvonisnya dengan cerai, atau ‘sekedar’
menghujaninya dengan kalimat-kalimat yang membantai. Bisa jadi kejadian kelam
itu adalah perkosaan dengan segala modus operandinya. Bisa jadi pula memang
atas dasar suka sama suka, saat hati belum sepenuhnya sadar akan sebuah dosa.
Untuk kasus pertama, maka sungguh mulia dan sungguh besar jiwa Anda jika mampu
memakluminya. Andalah ‘sang dewa penolong’ yang diharapkan meneguhkan hati dan
perasaannya yang gundah selama ini. Mungkin juga ia memilih Anda karena yakin
bahwa Anda adalah seorang bijak yang berhati mulia. Benar-benar sebuah
‘pakaian’ yang berfungsi untuk menutupi, melindungi dan menghangati. Insya
Allah semua berpahala.
Namun jika atas dasar suka sama suka, maka pastikan dan yakinilah bahwa hanya
taubat yang tersisa pada dirinya. Tidak ada cinta dan gairah masa kelam yang
masih ada. Hanya taubat dan sungguh taubat nasukha itu menghapuskan setiap
kejahatan betapapun besarnya. Tidak sekali-sekali kita meremehkan sebuah taubat
yang sungguh-sungguh ketulusannya. Ingat saja kemarahan Rasulullah saw saat
Khalid bin Walid mencerca wanita Ghamidiyah yang tengah dirajam karena berzina.
Rasulullah saw menyatakan : “ Tenanglah wahai Khalid. Demi jiwaku yang berada
di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya perempuan ini telah bertobat dengan tobat
yang apabila dilakukan oleh seorang penarik pajak secara kejam, niscaya dia
akan diampuni “ ( HR Muslim V/120 ).
Di lain wakru, masih pada kasus perzinaan, kali ini dilakukan oleh seorang
wanita Juhainah. Setelah tewas dirajam, Rasulullah saw pun menyalati wanita
tersebut, hingga Umar bin Khattab ra heran dan bertanya : “Apakah engkau
menyalatinya ya Nabiyyullah. Padahal dia telah berbuat zina ? “. Nabi saw
menjawab, “ Sesungguhnya dia telah bertobat dengan sungguh-sungguh. Seandainya
tobat wanita ini dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, maka
hal itu masih cukup “ ( HR Muslim V/120)
Meski demikian agungnya sebuah taubat di sisi Allah, namun di sisi seorang
laki-laki terkadang lain kesannya. Sungguh berat menerima hal ini. Sebagai
laki-laki ada gengsi yang tinggi ketika menerima kenyataan istrinya pernah
berbuat keji dengan laki-laki lain. Jangankan keperawanan fisik yang telah
direnggut, sebagian laki-laki ada pula yang tidak mau menerima istri yang
pernah mencintai orang lain. Salah satu contoh tipe laki-laki tersebut adalah
As-Syahid Sayyid Quthb. Beliau menolak menikahi seorang wanita yang lama
dicintainya secara tulus, hanya karena wanita tersebut pernah berkenalan dan
dipinang oleh laki-laki lain. Keperawanan hati, demikian beliau mengistilahkannya
dalam karya sastra romantis yang bertutur tentang kisah nyata cinta sejatinya,
jauh sebelum mengenal dunia dakwah dan pergerakan.
Akhirnya, semua telah terjadi. Pastikan bahwa tidak ada lagi cinta jahiliyah
yang terpendam. Pastikan bahwa hanya taubat yang tersisa. Kemudian berusahalah
untuk menerima istri Anda apa adanya. Membimbingnya dengan sepenuh keyakinan,
bahwa taubat adalah software anti virus masa lalu yang paling canggih dan
selalu up to date.
Jika belum mampu, maka tunggulah sejenak barang sepekan dua pekan. Tak perlu
ada banyak perdebatan atau pertengkaran fisik terjadi. Hingga kita yakin
sepenuhnya bahwa tidak ada emosi dan nafsu yang berbicara. Keputusan yang
terbaik dan barakah, insya Allah kan menjelang.
d. Meneguhkan bukan Meruntuhkan Mesra
Ada kalanya tak ada darah di malam pertama, dan sang istri pun tak tau apa
sebabnya. Namun yang berkecamuk hebat dalam pikirannya, sang suami meragukan
keperawanannya. Maka hatinya pun serasa hancur terjerembab. Percaya diri yang
sedari tadi ditatanya runtuh tak terkira. Tiba-tiba wanita tersebut menjadi
sang tertuduh. Ia sangat heran mengapa tak ada sedikitpun darah yang menetes.
Padahal kondisinya serupa persis dengan apa yang dikatakan Maryam as kepada
Jibril As : Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusiapun menyentuhku, dan aku bukan (pula) seorang pezina “ (
QS Maryam 20 )
Terkadang ini menjadi hal yang begitu mengerikan bagi para wanita. Mereka yang
sejak lama menunggu malam pengantin untuk mempersembahkan darah perawannya pada
sang suami tercinta, tiba-tiba harapan mulia ini pupus begitu saja. Tidak ada
darah yang keluar, dan ia merasa wajah suaminya berubah begitu menyeramkan.
Hatinya menangis teriris-iris dan berkata-kata lirih, sebagaimana kondisi Maryam
saat merasa takut akan tuduhan kaumnya : “ Aduhai, alangkah baiknya jika aku
mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti dan terlupakan
(oleh manusia) “ (QS Maryam 23)
Wahai para suami, jika menemukan kondisi seperti ini, saatnya untuk meneguhkan
mesra. Bukan meruntuhkannya. Saat ini sangat menentukan baginya. Ada kata-kata
bijak yang ditunggunya dari Anda. Katakan sejujurnya, bahwa setetes darah
bukanlah hal yang besar bagi Anda. Katakan pula, bahwa banyak hal dan kondisi
yang mungkin menyebabkan tidak tumpahnya darah sama sekali. Katakan apa saja
yang meninggikan hatinya, hingga rasa percaya dirinya tumbuh kembali. Hingga ia
merasa bahwa Anda sama sekali tak terpengaruh dengan peristiwa aneh yang baru
saja terjadi. Saatnya meneguhkan mesra, bukan meruntuhkannya.
Bagaimana jika saya usul, katakan saja kepada istri Anda saat ia tengah
bersedih dengan kenyataan unik tersebut : " Dinda, kok nggak ada darah
yang keluar ya... kita coba lagi yuk ! ".
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
12.Keduabelas :
Download
Materi Kajian Pra Nikah (Powerpoint)
Materi Training Pra Nikah yang cukup lengkap dan komprehensif kami sajikan bagi
mereka yang siap berbagi dan memotivasi para bujangan agar segera menikah.
Ditengah kesibukan dunia nyata selama Ramadhan 1431, mohon maaf karena belum
bisa memenuhi komitmen untuk membuat postingan satu materi kultum setiap
harinya. Insya Allah tetap diusahakan, karena materi tentang ramadhan memang
begitu banyak dan menarik. Tapi terkadang kita hanya bisa sebatas
menyampaikannya secara lisan, untuk menuliskan ternyata membutuhkan waktu yang
khusus. Inilah yang saya alami hari-hari ini, mengisi banyak kajian tentang
Ramadhan, tetapi lupa atau belum sempat menuliskannya untuk sharing dengan
pembaca blog Indonesia Optimis ini.
Ditengah semua ini pula, ada seorang sahabat yang berkomentar menagih file powerpoint
seputar Pra Nikah yang sebelumnya saya janjikan saat saya mengisi Talk SHow Pra
Nikah di Pameran Buku Goro Assalam Surakarta awal agustus kemarin. Memang
biasanya seputar mengisi acara, jika ada yang berminat 'meminang' materi saya
untuk disimpan di flash disk, saya sarankan untuk mengunduhnya di blog saja.
Tentu saja langkah ini cukup jitu untuk promosi blog, selain itu juga untuk
efektitas. Bayangkan kalau ada sepuluhan flash disk yang menanti untuk
ditusukkan ke laptop saya, mungkin perlu waktu khusus untuk itu. Belum lagi
resiko ketularan virus yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
software anti virusnya.
Nah, bagi Anda sahabat blog Indonesia Optimis, yang belum nikah dan merindukan
pernikahan yang Islami. Atau Anda para ustadz dan trainer yang kerap mengisi
seputar tema di atas, kami persembahkan presentasi sederhana kami untuk
pembelajaran generasi muda seputar pernikahan Islami. Sebagaimana biasa, agar
file menjadi ringan kami kirimkan kepada Anda dalam bentuk handout sederhana tanpa
gambar dan audio. Jika Anda dan sahabat membutuhkan file yang lengkap dengan
gambar, tata suara plus game-game yang menarik, maka saatnya Anda
mempertimbangkan untuk mengundang saya secara langsung dalam acara Anda ...
(promo : mode on)
Semoga bermanfaat dan silahkan download materi
PELATIHAN PRA NIKAH
dengan
mengklik tombol di bawah ini :
http://www.4shared.com/document/Bx8pFmSc/Training_Pra_Nikah_-_Handout.html
Ingin ngobrol dengan saya ?
Follow
saya di Twitter @hattasyamsuddin
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
www.indonesiaoptimis.com