Assalamu’alaikum
Warohmatullahi Wabarakatuh !
Saudara-saudara, kaum muslimin rohimakumulullah. Setiap penganut
agama di dunia ini mempunyai sebuah kitab yang dianggapnya sebagai kitab suci.
Orang Hindu mempunyai Kitab Wedha. Orang Budha mempunyai Kitab Tripitaka. Orang
Yahudi mempunyai Kitab Taurat. Orang Nasrani mempunyai Kitab Injil. Penganut
Konghucu mempunyai Kitab Tautehking. Orang Majusi mempunyai Kitab Zenavesta.
Orang Kebatinan mempunyai Kitab Serat Centani, Hidayat Jati, Darmo Gandul atau
Gatolojo. Sementara kita, orang Islam diberikan Kitab Al-Quran Al-Karim oleh
Allah.
Mengapa kita yakini bahwa
Al-Qur’an ini sebagai kitab suci? Pertama, ia bebas dari intervensi dan investasi
manusia. Ia sepenuhnya, baik isi maupun redaksi adalah produk dari Allah
Subhanahu Wata’ala. Kita meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci karena sampai
hari ini belum ada seorang pun yang sanggup membuat seperti itu. Suatu kitab hanya
dinamakan suci jika dia bersih dari investasi dan intervensi manusia. Al-Qur’an
ini, sejak turunnya 14 abad yang lalu telah menantang, “Apabila
kamu ragu-ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an yang Kami turunkan kepada hamba
Kami, Muhammad, atau kamu menyangka bahwa Al-Qur’an itu hanya karangan Muhammad
saja maka cobalah kamu buat sebuah surat semacam Al-Qur’an. Apabila kamu tidak
mampu melakukannya seorang diri maka ajaklah seluruh teman-temanmu.”
Kedua,
kita meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci karena isi dan ajarannya sesuai
dengan fitrah manusia. Suatu kitab dinamakan suci jika ajarannya sejalan dengan
fitrah manusia. Misalnya, laki-laki memiliki nafsu terhadap perempuan dan
perempuan suka terhadap laki-laki. Hal ini adalah fitrahnya sebagai manusia.
Jika ada kitab suci yang melarang manusia untuk menikah maka kesucian kitab itu
perlu diselidiki. Al-Qur’an adalah kitab suci yang sejalan dengan fitrah
manusia maka ia menganjurkan manusia yang mampu untuk melangsungkan pernikahan.
Contoh lain adalah secara
fitrah manusia perlu makan. Jika ada kitab suci yang menyuruh manusia untuk
puasa terus-menerus dari pagi sampai siang kemudian sore sampai malam lalu
puasa lagi sampai pagi hari maka hal itu sama saja menyuruh manusia untuk mati.
Al-Qur’an sesuai dengan fitrah manusia maka Islam melarang puasa wishol atau
puasa ngableng atau
puasa nyambung artinya seseorang puasa dari mulai pagi hari sampai pagi kembali
dan tidak berbuka pada saat magrib. Puasa seperti ini bukan hanya tidak boleh
tetapi hukum melakukannya adalah haram. Kenapa? Karena hal itu bertentangan
dengan fitrah manusia.
Ketiga, kita meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci karena isi
Al-Qur’an tidak kontroversi artinya isinya tidak saling bertentangan satu sama
lain. Dalam ayat manapun Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah itu esa. Contoh
lainnya, jika satu kali Al-Qur’an menjelaskan sesuatu itu adalah haram maka ia
akan tetap berkata bahwa sesuatu itu adalah haram. Jika sebuah kitab suci
memiliki kontroversi, misalnya di satu ayat mengajarkan bahwa Tuhan itu satu
tetapi di ayat lainnya mengajarkan bahwa Tuhan itu ada tiga, di ayat lain
mengajarkan bahwa Tuhan itu ada empat maka nama kitab itu adalah kitab kacau.
Bagaimana suatu kitab disebut suci kalau isinya kontroversi satu dengan yang
lainnya?
Dari ketiga kriteria inilah kita meyakini bahwa Al-Qur’an adalah
kitab suci. Masalah yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah bagaimana
sikap kita terhadap Al-Qur’anulkarim sebagai kitab suci.
Berangkat dari sebuah hadits, dimana Rasulullah Sholallahu
‘Alaihi Wassallam pernah memberikan tawaran. Beliau bersabda, “Siapa saja yang
menjadikan Al-Qur’an sebagai imam maka Al-Qur’an akan membimbing ia ke dalam
surga tetapi siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai makmum maka Al-Qur’an
akan mendorong ia ke dalam neraka.”
Pilihan itu terserah kepada kita. Siapa saja yang menjadikan
Al-Qur’an sebagai imam, ditempatkannya Al-Qur’an di depan, dia ikuti petunjuk
dan ajaran Al-Qur’an maka Al-Qur’an akan membimbingnya ke dalam surga. Baik
surga dunia maupun surga akhirat. Tetapi sebaliknya, siapa saja yang
menempatkan Al-Qur’an di belakangnya, dia belakangi Al-Qur’an, dia belakangi
ajaran-ajaran dan perintah Al-Qur’an, dia menuruti hawa nafsunya dalam
kehidupan maka Al-Qur’an akan mendorong ia ke dalam neraka. Baik neraka dunia
maupun neraka akhirat. Pilihan itu terserah kepada kita.
Saya mau bertanya,
kira-kira Al-Qur’an dalam hidup kita itu sebagai imam atau sebagai makmum?
Kalau Al-Qur’an sebagai imam, artinya kita sebagai umat islam jadi makmum.
Resiko dan logikanya adalah makmum harus mengikuti imam. Imam takbir, makmum
takbir. Imam ruku’, makmum ruku’. Imam sujud, makmum sujud. Imam tahiyat,
makmum tahiyat. Itu namanya Al-Qur’an menjadi imam dan kita menjadi makmum.
Artinya dalam kehidupan adalah kita mengikuti ajaran Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an
mengatakan merah maka kita juga mengatakan merah. Hijau kata Al-Qur’an, hijau
kita bilang. Ke barat kata Al-Qur’an, ke barat kita pergi. Ke timur kata
Al-Qur’an, ke timur kita berangkat. Halal kata Al-Qur’an, halal kata kita.
Haram kata Al-Qur’an, haram kita bilang. Itu artinya Al-Qur’an sebagai imam dan
kita sebagai makmum. Tetapi kenyataannya kadang-kadang kontras. Nyatanya
kadang-kadang paradok. Merah kata Al-Qur’an, hijau
dong kata
kita. Halal kata Al-Qur’an, ah..
remang-remang kita
bilang. Ke barat kata Al-Qur’an, ke timur kita pergi. Dalam praktek kita mau
menjadi makmum tetapi kita menyuruh Al-Qur’an sebagai imam. Kita sesuaikan
Al-Qur’an dengan selera kita. Mana ayat yang menguntungkan, mana ayat-ayat yang
sesuai dengan keinginan kita. Itu yang kita baca kuat-kuat, itu yang kita
canangkan ke tengah masyarakat ramai. Tapi manakala Al-Qur’an itu bertentangan
dengan nafsu kita, bertentangan dengan gaya dan kepribadian kita maka kita
sembunyikan itu Al-Qur’an. Kadang-kadang kita tuduh Al-Qur’an itu ketinggalan
zaman, kita anggap Al-Qur’an tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi.
Kalau sudah begitu, maka kita sudah menyebrang terlalu jauh.
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Inilah makna hadits nabi
yang diriwayatkan dari Imam Ali Bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an lalu memperhatikannya kemudian
menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram maka Allah akan
memasukkan orang itu ke dalam surga (surga dunia dan surga akhirat).”
Apabila kita renungi hadits ini maka untuk berimam kepada Al-Qur’an ada
tiga jalan utama yang harus kita laksanakan. Pertama dari kataBarangsiapa yang membaca Al-Qur’an artinya
siapa saja yang ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai imam di dalam
kehidupan maka jalan pertama yang harus ia tempuh adalah menanamkan
kegemaran membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an akan menjadi asing, Al-Qur’an
akan menjadi aneh kalau terletak di tengah rumah orang islam yang tidak
suka membaca Al-Qur’an. Jadi langkah pertama adalah tanamkanlah
kegemaran membaca Al-Qur’an.
Saya tidak menyalahkan kalau remaja kita gandrung kepada Stevie Wonder,
senang kepada suara emasnya Michael Jackson, atau suaranya Madonna. Tapi
kalau sampai harus mengalahkan kecintaan mereka kepada membaca
Al-Qur’an maka ini adalah sebuah ironi. Sebagai orang tua, kalau
anak-anak kita buta huruf latin, katanya menghambat pembangunan. Bahkan
pemerintah Indonesia menggalakan bebas buta aksara agar rakyat bisa
membaca huruf latin. Kalau anak-anak kita buta huruf latin disebut
sebagai penghambat pembangunan, lalu bagaimana dengan anak-anak kita
yang buta akan huruf Al-Qur’an ? Itu jelas menghambat proses kesadaran
dan kebangkitan dari dunia islam itu sendiri.
Satu contoh ringan, dulu sebelum pembangunan merata, listrik belum masuk
desa, kampung gelap dan rumah memakai lampu minyak. Kalau kita masuk
kampung maka terasa banyak orang islam. Kenapa? Di rumah sebelah sana
kita mendengar ada anak muda yang sedang latihan membacarawi,
di sebelah sini ibu-ibu sedang sholawatan dan di rumah sana ada remaja
yang sedang membaca Al-Qur’an. Kemudian pembangunan pun maju dan listrik
masuk desa tetapi justru terjadi proses pergeseran nilai. Setelah
listrik masuk desa maka ini yang terjadi : orang-orang meyetel volume
radionya dengan keras dan berlomba-lomba membeli televisi yang paling
besar. Sedangkan membaca Al-Qur’an sudah menjadi barang yang aneh dan
langka. Lihatlah sekarang di kampung-kampung, ada remaja yang sedang
membaca Al-Qur’an, rasanya kok aneh, tidak umum. Sesuatu yang baik malah
menjadi nilai-nilai keanehan.
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Tanamkanlah kegemaran
membaca Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits nabi berpesan, “Sinarilah rumah
tanggamu dengan bacaan Al-Qur’an.” Sebab listrik ini hanya bisa
menerangi gelap tapi tidak akan sanggup menerangi hati manusia.
Al-Qur’an adalah produk Allah. Selalu tepat dan pantas dibaca dalam
setiap keadaan. Lihat saja orang yang sedih kemudian membaca Al-Quran,
ia menjadi terhibur. Orang gembira membaca Al-Qur’an, ia menjadi tidak
lupa diri. Di rumah mewah ada yang membaca Al-Qur’an, itu bagus. Di
gubuk reot di pinggir sungai ada yang membaca A-Qur’an, itu cocok.
Orang menikah dibacakan Al-Qur’an, itu bagus. Orang mati dibacakan
Al-Qur’an, tidak jelek. Dalam segala keadaan, in all season Al-Qur’an pantas dibaca. Bahkan orang sakit gigi pun jika dibacakan Al-Qur’an ia tidak akan marah.
Abu Jahal dan Abu Lahab pernah rapat. Abu Jahal berkata, “Abu Lahab,
setelah diperhatikan mengapa orang-orang Quraisy ikut kepada ajaran
Muhammad, salah satu diantaranya adalah karena mereka terpesona setelah
mendengar keindahan Al-Qur’an. Kita blokir saja !” Abu Lahab bertanya,
“Bagaimana caranya?” Abu Jahal meneruskan idenya, “Berikanlah larangan
kepada kaum Quraisy untuk tidak boleh mendengarkan Muhammad membaca
Al-Qur’an. Kamu juga tidak boleh, Abu Lahab ! Begitu pun dengan saya.”
Abu Lahab menganggukkan kepala, “Kita berjanji, kita tidak akan pernah
mendengar Muhammad membaca Al-Qur’an.” Kemudian kedua petinggi kaum
Quraisy itu bersalaman dan pulang ke rumah masing-masing.
Dalam jangka satu hari, Abu Jahal tahan untuk tidak mendengar Al-Qur’an.
Hari kedua pun sama. Dia masih kukuh akan pendiriannya. Namun setelah
seminggu ke atas Abu Jahal merasakan rindu untuk mendengarkan ayat
Al-Qur’an. Karena secara pribadi dia mengakui keindahan gaya bahasa
Al-Qur’an itu jauh lebih tinggi daripada kemampuan para penyair Quraisy
dan isi dan ajarannya sangat dalam dan menyentuh segi-segi kehidupan
manusia. Abu Jahal sudah tidak tahan lagi. Maka pada suatu malam ia
keluar dari rumahnya secara sembunyi-sembunyi dan pergi ke rumah Nabi
Muhammad. Ia ingin mendengar Nabi Muhammad membaca Al-Qur’an. Dan
ternyata Abu Lahab pun melakukan hal yang sama. Abu Jahal berpikir bahwa
Abu Lahab tidak akan keluar rumah untuk mendengarkan ayat Al-Qur’an dan
Abu Lahab juga berpikiran sama tentang Abu Jahal. Mereka berdua
sama-sama keluar dari rumah tapi bedanya Abu Jahal mengendap-endap dari
sisi sebelah barat rumah nabi sedangkan Abu Lahab dari sisi sebelah
timur. Mereka bergeser sedikit demi sedikit mencari posisi untuk
mendengarkan ayat Al-Qur’an yang lebih baik dan keduanya ternyata
bertemu di satu sudut yang sama. Spontan mereka berdua kaget bukan
kepalang. Mereka berdua sama-sama malu karena tidak bisa menahan diri
untuk tidak mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Dan akhirnya
mereka berdua mengakui bahwa Al-Qur’an memiliki daya pikat dan pesona
yang kuat bagi orang yang mendengarkannya. Itu baru dari segi bacaan
belum dari segi isi ataupun ajarannya. Tanamkanlah kegemaran membaca
Al-Qur’an. Bahkan Nabi bersabda, “Orang yang dari tenggorokannya belum
pernah keluar satu huruf Al-Qur’an, belum pernah membaca satu pun ayat
Al-Qur’an maka orang itu seperti rumah yang kosong.”
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Dalam satu percontohan
Nabi mengatakan, “Orang mukmin yang suka membaca Al-Qur’an adalah ibarat
buah utrujah. Baunya wangi serta rasanya lezat. Orang mukmin yang tidak
suka membaca Al-Qur’an adalah ibarat buah kurma. Rasanya memang manis
tetapi tidak ada baunya. Orang Munafik yang suka membaca Al-Qur’an
adalah ibarat buah roihanah. Baunya wangi tetapi rasanya pahit. Orang
munafik yang tidak suka membaca Al-qur’an adalah ibarat buah hanzolah.
Tidak ada baunya dan rasanya pahit.”
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Tanamkanlah kegemaran
membaca Al-Qur’an karena hal itu merupakan ibadah yang besar. Bahkan
Nabi bersabda, “Nilai ibadah yang paling baik dari hambaku adalah ibadah
membaca Al-Qur’an.” Membaca Al-Qur’an dalam sholat memiliki nilai
ibadah yang lebih besar daripada di luar sholat. Membaca Al-Qur’an
dengan berwudhu lebih besar pahalanya daripada tanpa wudhu. Mengerti
Al-Qur’an lebih besar pahalanya daripada tidak mengerti. Tapi tidak
mengerti pun dan ia mendengarkan ayat Al-Qur’an maka ia mendapatkan
pahala mendengar Al-Qur’an. Itulah penjelasan pertama dari makna hadits
diatas yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa kita harus
senantiasa menanamkan kegemaran membaca Al-Qur’an.
Dalam hadits diatas berbunyi Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an lalu memperhatikannya, maka
makna selanjutnya dalam hadits ini adalah kita harus memperhatikan
Al-Qur’an setelah membacanya. Pahamilah isi Al-Qur’an. Jangan seperti
monyet yang memakai mahkota. Dia tertawa girang dan cengengesan tetapi
dia tidak mengerti arti dari kebesaran mahkota yang disandangnya. Kita
bangga akan Al-Qur’an tetapi tidak mengerti kandungan arti di dalamnya.
Bagaiamana caranya untuk memahami Al-Qur’an? Mudah saja. Contoh, jika
kita ingin mengerti cara membuat tahu maka jangan bertanya kepada montir
mobil. Montir mobil sangat ahli dalam urusan mesin tetapi jika urusan
tahu maka tanyakanlah kepada ahli pembuat tahu. Untuk mengerti rahasia
dan seluk-beluk Al-Qur’an maka kita harus bertanya kepada orang yang
mengerti arti dan seluk-beluk Al-Qur’an yaitu para ulama, para kyai dan
para ustadz yang kita tahu kualitas keilmuannya dan kita yakini
loyalitas dan integritasnya kepada islam. Kenapa? Ayat-ayat Al-Qur’an
itu elastis. Dia dibawa kemana saja dia mau. Bisa ditafsirkan menurut
kemauan orang. Yang paling celaka adalah, orang yang belajar tidak
mempunyai dasar dan orang yang mengajar memiliki maksud yang lain. Hal
ini sesat dan menyesatkan. Orang yang ngajar mempunyai nafsu dan ambisi
dan orang yang belajar menjadi tikus budeg, yang
memang tidak mempunyai dasar apa-apa. Sekali belajar, langsung
menafsirkan ayat. Cara wudhu yang baik saja belum mengerti, cara ruku’
dan sujud yang baik saja belum bisa dan tidak tahu apa saja yang
membatalkan sholat. Belajar menafsirkan Al-Qur’an itu tidak jelek tetapi
alangkah lebih baiknya jika orang yang mau belajar itu memiliki dasar
penunjang dari nilai-nilai keilmuan islam untuk pembelajarannya nanti.
Di sinilah perlunya menghidupkan majlis-majlis ta’lim. Sebab jika
Al-Qur’an dipahami dan diotak-atik menurut kemauan rasio saja -sedangkan
kekuatan rasio manusia itu terbatas-, saya akan khawatir nantinya akan
timbul pendapat-pendapat dimana Al-Qur’an disesuaikan dengan otak. Bukan
otak yang mengikuti Al-Qur’an tetapi Al-Qur’an yang disuruh mengikuti
otak.
Contoh, jika Saudara mengukur kayu menggunakan meteran, apakah meteran
itu ikut kayu atau kayu yang mengikuti meteran? Jika meteran mengikuti
kayu maka tidak ada meteran yang benar di dunia ini. Jika kayunya
terlalu pendek maka meterannya yang dipotong. Yang benar adalah kayu
yang harus mengikuti meteran. Otak harus ikut wahyu jangan wahyu yang
disuruh untuk mengikuti otak. Manusia ikut Al-Qur’an, jangan sebaliknya.
Kaum orientalis, orang barat yang non-muslim yang mempelajari dan
mendalami Islam untuk mencari kelemahan umat islam dan untuk menghantam
umat islam, mereka sengaja mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka
kumpulkan untuk menghancurkan umat islam. Supaya umat islam sendiri
meragukan Al-Qur’an dan meninggalkan Al-Qur’an. Timbullah pendapat ada
ayat Al-Qur’an yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi
sekarang. Seolah-olah otak manusia sudah jauh lebih pintar daripada
Al-Qur’anulkarim.
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Untuk memahami
Al-Qur’an, kita harus bertanya kepada orang yang ahli dalam Al-Qur’an
dan menghidupkan majlis-majlis ta’lim. Jangan sampai Al-Qur’an menjadi
awam di tengah masyarakat islam itu sendiri. Ini adalah jalan yang kedua
dalam menjadikan Al-Qur’an sebagai imam kita yaitu dengan memahami
isinya. Sehingga demikian manakala Al-Qur’an dibacakan oleh orang, kita
tidak lagi terpusat kepada kemerduan suara orang yang melantunkan ayat
suci Al-Qur’an itu tetapi tertuju kepada isi yang dikandungnya. Sehingga
dalam kondisi semacam itu, boleh jadi setiap kali dibacakan Al-Qur’an,
nilai iman kita semakin bertambah.
Kita mendengar orang membacakan ayat dari surat Al-Fil, alam taro kaifa fa’ala robbuk biashaabil fil maka
kita membayangkan bagaimana Raja Abrahah akan menghancurkan Ka’bah
dengan pasukan gajah. Allah cukup mengirimkan burung Ababil dan
hancurlah raja besar itu beserta dengan seluruh pasukan gajahnya. Hancur
berantakan, berkeping-keping, berserakan. Allah Maha Besar, Allah Maha
Kuasa. Dengan mendengar dan mengerti arti dari ayat itu maka
bertambahlah iman di dada kita.
Jika kita tidak memahami Al-Qur’an maka seperti mayoritas terjadi di
masyarakat, misalnya ketika Al-Qur’an menceritakan adzab (siksa), kita
malah merasa senang. Contoh kita mendengar ayat Walakum adzabun alim artinya Dan kamu akan mendapat siksa yang pedih, kita yang mendengar di sudut majlis berteriak Toyyib, Toyyib ! artinya baik, baik. Allah, Allah ! Alhamdulillah ! Al-Qur’an
sedang menceritakan adzab malah berteriak bahwa itu adalah hal yang
baik. Kita menyukai bacaan Al-Qur’an yang dilantunkan oleh Qori/Qori’ah
dengan suara mereka yang merdu, itu adalah hal yang baik, Alhamdulillah.
Tetapi akan lebih baik lagi apabila kita mengerti arti dari ayat
Al-Qur’an yang kita dengarkan. Sebab perintah membaca (iqra)
Al-Qur’an, tersirat perintah untuk memahami Al-Qur’an. Perintah
memahami, tersirat makna untuk mengamalkan. Dengan kata lain, kita hanya
bisa mengamalkan Al-Qur’an dengan baik apabila kita mengerti isinya.
Kita hanya bisa mengerti isinya apabila kita rajin membacanya, baik
membaca yang tersirat maupun yang tersurat dengan petunjuk dari para
alim ulama, para kyai dan orang-orang yang ahli di bidang Al-Qur’an.
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Inilah jalan kedua.
Upayakanlah memahami isi Al-Qur’an. Hidupkan kajian-kajian agama.
Hidupkan majlis-majlis ta’lim. Jangan sampai Al-Qur’an menjadi asing di
hati kita sendiri. Jangan sampai kita awam terhadap makna dan kandungan
Al-Qur’an, sementara kita yakini bahwa Al-Qur’an siap membimbing kita
sejak dari dunia hingga akhirat nanti.
Langkah selanjutnya untuk berimam kepada Al-Qur’an setelah menanamkan
kegemaran membaca lalu berupaya memahami isinya adalah mengamalkannya
dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Al-Qur’an tidak akan membawa berkah apabila ajaran yang terkandung di
dalamnya, kita baca tetapi kemudian kita menginjak-injaknya dalam
praktek kehidupan. Al-Qur’an mengatakan riba dan haram, tetapi dalam
praktek kehidupan kita lebih senang kepada riba dan haram. Al-Qur’an
mengajarkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan dan ukhuwah islamiyah
tetapi praktek yang kita lakukan malah centang-perenang, malah saling
bertolak-belakang, malah kadang menjegal kawan seiring, menggunting
dalam lipatan, saling ribut sesama manusia, lalu kelemahan pun menjadi
kenyataan dimana-mana. Sekali lagi, Al-Qur’an tidak akan membawa berkah
apabila Al-Qur’an yang kita baca malah kita injak-injak (artinya tidak
kita amalkan).
Tentang pengamalan Al-Qur’an ini, Allah berfirman, “Kemudian kami wariskan Al-Qur’an ini kepada hamba-hamba Kami yang Kami pilih. Diantara mereka ada yang dzolim kepada diri mereka sendiri, kemudian ada yang muqtasid (setengah-setengah) dan ada yang berlomba-lomba mengamalkannya atas izin Allah.”
Jadi tiga cara untuk berimam kepada Al-Qur’an adalah gemar membaca
Al-Qur’an, memahami isi dan ajaran Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran
Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Cintailah Al-Qur’an, Saudaraku.
Bacalah dan jadikan ia sebagai pedoman dan petunjuk dalam hidupmu.
Silakan unduh tausyiah selengkapnya tentang penjelasan Al-Qur’an dari K.H Zainudin MZ ini. Semoga bermanfaat !download mp3 nya disini kh_zainuddin_mz_al_quran_imam_kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar