Dalam aqad nikah ada beberapa
syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:
1. Rasa suka sama suka dari kedua
calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata,
“Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah
Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata,
“Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari
saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak
wali.” [2]
Disyaratkan adanya wali bagi wanita.
Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita,
memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada
wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya,
mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan
apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Siapa saja wanita yang menikah
tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil,
pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak
mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka
berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.” [3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidak sah nikah melainkan dengan
wali.” [4]
Juga sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
“Tidak sah nikah kecuali dengan
adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]
Tentang wali ini berlaku bagi gadis
maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali,
maka nikahnya tidak sah.
Tidak sahnya nikah tanpa wali
tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan
dalil dari Al-Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul
(sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah:
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri
rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar,
sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
“Aku pernah menikahkan saudara
perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya.
Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami)
datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan
dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau
menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah,
dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang
baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah
menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka
aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai
Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki
itu.[6]
Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah
hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan
dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah
tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang
berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara
perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah
sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat
al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika
wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak.
Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah
berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan.
Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita
tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits
yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya
penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak
ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya
ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak
ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah
berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada
nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]
Imam Ibnu Hazm rahimahullaah
berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis,
melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya,
pamannya, atau anak laki-laki pamannya…” [9]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah
berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan
dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada
selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak
sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki
dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan
adanya wali.”
• Keharusan Meminta Persetujuan
Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu
‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang janda tidak boleh
dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak
boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.”
[11]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu
‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu
‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia
tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan
kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin
membatalkannya). [12]
• Mahar
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
Mahar adalah sesuatu yang diberikan
kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.
Mahar (atau diistilahkan dengan mas
Kimpoi) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan
menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun
mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.
Syari’at Islam yang mulia melarang
bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan
mahar agar mempermudah proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Di antara kebaikan wanita adalah
mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]
‘Urwah berkata, “Yaitu mudah
rahimnya untuk melahirkan.”
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu
berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang
paling mudah.’” [14]
Seandainya seseorang tidak memiliki
sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan
ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]
Quote: • Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:
Segala puji hanya bagi Allah, kami
memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya,
dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada
Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada
Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' :
1]
“Wahai orang-orang yang beriman!
Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya
Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa
menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang
besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]
Bacaan Lafal Ijab Kabul Menggunakan
Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia
Ya Fulan bin Fulan uzawwijuka
‘ala ma amarollohu min imsakin bima’rufin au tasriihim bi ihsanin, ya fulan bin
fulan (jawab: na’am/labbaik) anakahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka fulanah
binti fulan bi mahri mushaf alquran wa alatil ‘ibadah haalan
Text Jawaban Menggunakan Bahasa Arab
Qobiltu nikaahahaa wa
tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan
Terjemahan Lafal Ijab Kabul
Menggunakan Bahasa Arab
Saudara fulan bin fulan (dijawab: ya
saya). saudara saya nikahkan dan kawinkan fulanah binti fulan denganmahar
sebuah mushaf Alquran dan perlengkapan sholat secara tunai."
Jawaban Menerima Dalam Bahasa Indonesia
"Saya terima nikah dan kawinya fulanah binti fulan dengan mahar sebuah mushaf Alquran dan perlengkapan Sholat secara tunai."
Jawaban Menerima Dalam Bahasa Indonesia
"Saya terima nikah dan kawinya fulanah binti fulan dengan mahar sebuah mushaf Alquran dan perlengkapan Sholat secara tunai."
Adab-adab
Dalam Akad Nikah
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Adakah kebiasaan para salaf setelah akad
nikah, istri melakukan sungkem (cium tangan) suami di hadapan para
tamu undangan? Bagaimana pula dengan kedua mempelai sungkem kepada orang
tua di hadapan tamu undangan. Hal semacam ini nampaknya sudah menjadi adat di
masyarkat. Mohon penjelasannya.
Dan bagaimanakah adab akad nikah?
Dari: Bambang
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahamatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahamatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah
Akad nikah merupakan ikatan syar’i antara pasangan suami istri. Dengan
hanya kalimat ringkas ini, telah mengubah berbagai macam hukum antara kedua
belah pihak. Karena itu, Allah Ta’ala menyebutnya sebagai mitsaq ghalidz
[Arab: ميثاقاً غليظاً] artinya ikatan yang kuat. Allah berfirman,
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا
غَلِيظًا
“Mereka (para wanita itu) telah
mengambil perjanjian yang kuat dari kalian.” (QS. An-Nisa’: 21)
Dengan akad nikah, pasangan ini
telah mengikat sebuah perjanjian, se-iya, sekata, untuk membangun rumah tangga
yang syar’i. Karena itu, bagi Anda yang telah berhasil melangsungkan perjanjian
indah ini, jangan Anda sia-siakan, jangan Anda rusak tanpa tanggung jawab,
buang jauh-jauh kata-kata: cerai, talak, dst…
Agar
akad nikah Anda semakin berkah, berikut beberapa adab yang perlu diperhatikan:
Pertama, hindari semua hal yang menyebabkan ketidak-absahan akad
nikah.
Karena itu, pastikan kedua mempelai saling ridha dan tidak ada unsur paksaan, pastikan adanya wali pihak wanita, saksi dua orang yang amanah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Karena itu, pastikan kedua mempelai saling ridha dan tidak ada unsur paksaan, pastikan adanya wali pihak wanita, saksi dua orang yang amanah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا نِكَاح إِلا بوَلِي وشَاهِدي عَدلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan
wali (pihak wanita) dan dua saksi yang adil (amanah).” (HR. Turmudzi dan
lainnya serta dishahihkan Al-Albani)
Kedua, dianjurkan adanya khutbatul hajah sebelum akad nikah.
Yang dimaksud khutbatul hajah adalah bacaan:
Yang dimaksud khutbatul hajah adalah bacaan:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ
نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ
يَهْدِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ( اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِى تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا) (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ) ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا
قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
Dalil anjuran ini adalah hadis dari
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا….
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajari kami khutbatul hajah…-sebagaimana lafadz di atas – …(HR.
Abu Daud 2118 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Syu’bah (salah satu perawi hadis)
bertanya kepada gurunya Abu Ishaq, “Apakah ini khusus untuk khutbah nikah atau
boleh dibaca pada kesempatatan yang lainnya.” “Diucapkan pada setiap acara yang
penting.” Jawab Abu Ishaq.
Sebagian orang beranggapan
dianjurkannya mengucapkan khutbah ini ketika walimah, meskipun acara walimah
tersebut dilaksanakan setelah kumpul suami istri. Namun yang tepat –wallahu
a’lam– anjuran mengucapkan khutbatul hajah sebagaimana ditunjukkan hadis
Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu adalah sebelum akad nikah bukan ketika
walimah. (A’unul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 5:3 dan Tuhafatul
Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 4:201). Wallahu a’lam.
Ketiga, tidak ada anjuran untuk membaca syahadat ketika hendak
akad, atau anjuran untuk istighfar sebelum melangsungkan akad nikah, atau
membaca surat Al-Fatihah. Semua itu sudah diwakili dengan lafadz
khutbatul hajah di atas. Tidak perlu calon pengantin diminta bersyahadat atau
istighfar.
Keempat, hendaknya pengantin wanita tidak ikut dalam majlis akad
nikah. Karena umumnya majlis akad nikah dihadiri banyak kaum lelaki yang bukan
mahramnya, termasuk pegawai KUA. Pengantin wanita ada di lokasi itu, hanya saja
dia dibalik tabir. Karena pernikahan dilangsungkan dengan wali si wanita. Allah
Ta’ala mengajarkan,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا
فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (wanita yang bukan mahram), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
(QS. Al-Ahzab: 53)
Semua orang tentu menginginkan
hatinya lebih suci, sebagaimana yang Allah nyatakan. Karena itu, ayat ini tidak
hanya berlaku untuk para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi
juga untuk semua mukmin.
Jika dalam kondisi normal dan ada
lelaki yang hendak menyampaikan kebutuhan atau hajat tertentu kepada wanita
yang bukan mahram, Allah syariatkan agar dilakukan di balik hijab maka tentu
kita akan memberikan sikap yang lebih ketat atau setidaknya semisal untuk
peristiwa akad nikah. Karena umumnya dalam kondisi ini, pengantin wanita dalam
keadaan paling menawan dan paling indah dipandang. Dia didandani dengan make
up yang tidak pada umumnya dikenakan.
Kesalahan yang banyak tersebar di
masyarakat dalam hal ini, memposisikan calon pengantin wanita berdampingan
dengan calon pengantin lelaki ketika akad. Bahkan keduanya diselimuti dengan satu
kerudung di atasnya. Bukankah kita sangat yakin, keduanya belum berstatus
sebagai suami istri sebelum akad? Menyandingkan calon pengantin, tentu saja ini
menjadi pemandangan yang bermasalah secara syariah. Ketika Anda sepakat bahwa
pacaran itu haram, Anda seharusnya sepakat bahwa ritual semacam ini juga
terlarang.
Kelima, tidak ada lafadz khusus untuk ijab qabul. Dalam pengucapn
ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab kabul.
Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul
akad nikah maka status nikahnya sah.
Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz
nikah. Mereka menjawab,
Semua kalimat yang menunjukkan ijab Kabul, maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu). (Fatawa Lajnah Daimah, 17:82).
Semua kalimat yang menunjukkan ijab Kabul, maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu). (Fatawa Lajnah Daimah, 17:82).
Keterangan selengkapnya bisa Anda
dapatkan di: http://www.konsultasisyariah.com/ijab-kabul-akad-nikah/
Keenam, hindari bermesraan setelah akad di tempat umum
Pemandangan yang menunjukkan kurangnya rasa malu sebagian kaum muslimin, bermesraan setelah akad nikah di depan banyak orang. Kita sepakat, keduanya telah sah sebagai suami istri. Apapun yang sebelumnya diharamkan menjadi halal. Hanya saja, Anda tentu sadar bahwa untuk melampiaskan kemesraan ada tempatnya sendiri, bukan di tempat umum semacam itu.
Pemandangan yang menunjukkan kurangnya rasa malu sebagian kaum muslimin, bermesraan setelah akad nikah di depan banyak orang. Kita sepakat, keduanya telah sah sebagai suami istri. Apapun yang sebelumnya diharamkan menjadi halal. Hanya saja, Anda tentu sadar bahwa untuk melampiaskan kemesraan ada tempatnya sendiri, bukan di tempat umum semacam itu.
Bukankah syariah sangat ketat dalam
urusan syahwat? Menampakkan adegan semacam ini di muka umum, bisa dipastikan
akan mengundang syahwat mata-mata masyarakat yang ada di sekitarnya. Hadis
berikut semoga bisa menjadi pelajaran penting bagi kita.
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma
beliau menceritakan:
Fadhl bin Abbas (saudaranya Ibn
Abbas) pernah membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di belakang
beliau, karena tunggangan Fadhl kecapekan. Fadhl adalah pemuda yang cerah
wajahnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di atas
tunggangannya, untuk menjawab pertanyaan banyak sahabat yang mendatangi beliau.
Tiba-tiba datang seorang wanita dari Bani Khats’am, seorang wanita yang sangat
cerah wajahnya untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas melanjutkan,
فَطَفِقَ الفَضْلُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا، وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا، فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا، فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ
الفَضْلِ، فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا
Maka Fadhl-pun langsung mengarahkan
pandangan kepadanya, dan takjub dengan kecantikannya. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memalingkan wajah beliau, namun Fadhl tetap mengarahkan
pandangannya ke wanita tersebut. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memegang rahang Fadhl dan memalingkan wajahnya agar tidak melihat si wanita….
(HR. Bukhari, no.6228)
Bagaimana sikap orang yang bertaqwa
sekelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak mengandalkan
taqwanya, merasa yakin tidak mungkin terpengaruh syahwat, dst.. Beliau juga
tidak membiarkan pemuda yang ada didekatnya untuk melakukan kesalahan itu.
Beliau palingkan wajahnya. Apa latar belakangnya? Tidak lain adalah masalah
syahwat. Apa yang bisa Anda katakan untuk kasus bermesraan pasca-akad nikah di
tempat umum? Tentu itu lebih mengundang syahwat.
Ketujuh, adakah anjuran akad nikah di masjid?
Terdapat hadis yang menganjurkan untuk mengadakan akad nikah di masjid, hadisnya berbunyi:
Terdapat hadis yang menganjurkan untuk mengadakan akad nikah di masjid, hadisnya berbunyi:
” أعلنوا هذا النكاح و اجعلوه في
المساجد ، و اضربوا عليه بالدفوف”
“Umumkan pernikahan, adakan akad
nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.” (HR. At Turmudzi,
1:202 dan Baihaqi, 7:290)
Hadis dengan redaksi lengkap
sebagaimana teks di atas statusnya dhaif. Karena dalam sanadnya ada seorang
perawi bernama Isa bin Maimun Al Anshari yang dinilai dhaif oleh para ulama, di
antaranya Al Hafidz Ibn Hajar, Al Baihaqi, Al Bukhari, dan Abu Hatim. Akan
tetapi, hadis ini memiliki penguat dari jalur yang lain hanya saja tidak ada
tambahan “..Adakan akad tersebut di masjid..”. Maka potongan teks yang pertama
untuk hadis ini, yang menganjurkan diumumkannya pernikahan statusnya shahih.
Sedangkan potongan teks berikutnya statusnya mungkar. (As Silsilah Ad
Dla’ifah, hadis no. 978).
Karena hadisnya dhaif, maka anjuran
pelaksanaan walimah di masjid adalah anjuran yang tidak berdasar. Artinya
syariat tidak memberikan batasan baik wajib maupun sunah berkaitan dengan
tempat pelaksanaan walimah nikah. Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan,
“Siapa yang meyakini adanya anjuran melangsungkan akad nikah di masjid atau
akad di masjid memiliki nilai lebih dari pada di tempat lain maka dia telah
membuat bid’ah dalam agama Allah.” (Adab Al Khitbah wa Al Zifaf, Hal.70)
Kedelapan, dianjurkan untuk menyebutkan mahar ketika akad nikah.
Tujuan dari hal ini adalah menghindari perselisihan dan masalah selanjutnya. Dan akan lebih baik lagi, mahar diserahkan di majlis akad. Meskipun ulama sepakat, akad nikah tanpa menyebut mahar statusnya sah.
Tujuan dari hal ini adalah menghindari perselisihan dan masalah selanjutnya. Dan akan lebih baik lagi, mahar diserahkan di majlis akad. Meskipun ulama sepakat, akad nikah tanpa menyebut mahar statusnya sah.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:
أَنَّ ذِكْرَ الْمَهْرِ فِي الْعَقْدِ
لَيْسَ شَرْطًا لِصِحَّةِ النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِخْلاَءُ النِّكَاحِ عَنْ
تَسْمِيَتِهِ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ
Menyebut mahar ketika akad bukanlah
syarat sah nikah. Karena itu, boleh nikah tanpa menyebut mahar dengan sepakat
ulama. (Mausu’ah fiqhiyah Kuwaitiyah, 39:151)
Hanya saja, penyebutan mahar dalam
akad nikah akan semakin menenangkan kedua belah pihak, terutama keluarga.
Kesembilan, dianjurkan mengikuti prosedur administrasi akad nikah,
sebagaimana yang ditetapkan KUA. Ini semua dalam rangka menghindari timbulnya
perselisihan dan masalah administrasi negara. Hanya saja, sebisa mungkin proses
pernikahan dimudahkan dan tidak berbelit-belit. Semakin mudah akad nikah,
semakin baik menurut kaca mata syariah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
خير النكاح أيسره
“Nikah yang terbaik adalah yang
paling mudah.” (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan Al-Albani)
Sifat mudah ini mencakup masalah nilai mahar, tata cara nikah, proses akad, dst.
Sifat mudah ini mencakup masalah nilai mahar, tata cara nikah, proses akad, dst.
Kesepuluh, tidak ada anjuran untuk melafadzkan ijab kabul dalam
sekali nafas, sebagaimana anggapan sebagian orang. Karena inti dari ijab qabul
akad nikah adalah pernyataan masing-masing pihak, bahwa wali pengantin wanita
telah menikahkan putrinya dengannya, dan pernyataan kesediaan dari pengantin
laki-laki.
Mengharuskan akad nikah dan ijab
kabul dengan harus satu nafas bisa disebut pemaksaan yang berlebihan.
Kesebelas, doa selepas akad nikah.
Dianjurkan bagi siapapun yang hadir ketika peristiwa itu, untuk mendoakan pengantin. Di antara lafadz doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah
Dianjurkan bagi siapapun yang hadir ketika peristiwa itu, untuk mendoakan pengantin. Di antara lafadz doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ
عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
“Semoga Allah memberkahimu di waktu
senang dan memberkahimu di waktu susah, dan mengumpulkan kalian berdua dalam
kebaikan.”
Dinyatakan dalam hadis dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أن النبى صلى الله عليه وسلم :”
كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ
وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam apabila hendak memberikan ucapan selamat kepada orang yang
menikah, beliau mendoakan: baarakallahu laka…dst.” (HR. Turmudzi, Abu
Daud dan dishahihkan Al-Albani)
Dari A’isyah radhiallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم فَأَتَتْنِي أُمِّي فَأَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا
نِسْوَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ
وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahiku, kemudian ibuku mendatangiku dan mengajakku masuk ke
dalam rumah. Ternyata di dalamnya terdapat banyak wanita Anshar. Mereka semua
mendoakan kebaikan, keberkahan karena keberuntunganku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
(Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar