Senin, 03 Februari 2014

Kisah Cinta Mengharukan | Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib RA

Kisah Cinta Mengharukan | Kisah Cinta Ali bin Abi
Thalib RA
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak
dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib
kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya,
parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari
ketika ayahnya pulang dengan luka memercik
darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia
bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang
Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh
kaumnya!....
Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan
menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy
yang semula saling tertawa membanggakan
tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu
kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan
paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan
akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq,
Radhiyallaahu ’Anhu.
“Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia
merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding
Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar
lebih utama, mungkin justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan
dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau
untuk menanti maut di ranjangnya..Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakar berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena
sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn
’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash,
Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-
kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang
dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar;
Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud..Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar,
insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di
hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya
untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya
belum berakhir.
Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang laki-laki yang
membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh
Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya,
Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan
itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar
memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun
setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyaksikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyaksikan semua
pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan
Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum
muslimin?
Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa
seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu
Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar
dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan
’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul,
di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar
melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan
sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang
frustasi karena tak menemukan beliau
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya
berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah
berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu
naik ke atas Ka’bah.
“Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al
Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung
tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit
ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi
sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan
orang banyak, dia pemuda yang belum siap
menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali
ridha. Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti
’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi
Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash
ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab
binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu
sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf
yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan
dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin
Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak
mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat,
engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah
menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah.Ya,
menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju
besi di sana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!
Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu
hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya
telah berkepala dua sekarang.
"Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!", begitu
nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda
yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang
Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?Ucapa
n selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah,
mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu
menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana
lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti
sebuah jawaban!”
“Dasar kamu tidak mengerti, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah
cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau
mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-
duanya berarti ya!” Dan ’Ali pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan
kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia
membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan
keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi
Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-
janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa
fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua
perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti
’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil
kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak
kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
(setelah mereka menikah) Fathimah berkata
kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah
denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh
cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa
engkau mau menikah denganku?
dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena
pemuda itu adalah Dirimu”
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk
menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali
bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya
aku telah menikahkannya dengan maskawin empat
ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha
(menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan
kalian berdua, membahagiakan kesungguhan
kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang
banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar